Semilir angin menyusuri kota Bandung, nuansa yang terlihat indah dan teduh
untuk jalan di trotoar alun-alun. Sama dengan yang Juna lakukan, siang ini langkah kakinya membawa Juna pergi ke sebuah toko peralatan lukis yang terletak di ruko paling pojok di deretan dekat jalan raya.Ting! Ting!
Bel pintu berbunyi nyaring kala ia berhasil masuk, dan saat itu matanya langsung disuguhi pemandangan yang membuatnya rileks. Tataan kuas-kuas, cat, kanvas, Dan palet yang tersusun rapi, juga aroma khas perpaduan dari kayu dan bahan cat membuatnya sedikit kontra. Aroma itu asing di indera penciumannya, mungkin karena baru pertama kali.
"Anak muda nyari apa??"
Juna refleks menoleh karena mendengar ada suara yang menegurnya, ia membungkuk canggung saat melihat pria paruh baya yang berdiri tak jauh darinya.
"Mau beli kanvas kek" jawabnya sopan.
Kakek tersenyum teduh, melihat Juna mengingatnya akan cucunya yang sudah meninggal 3 tahun lalu karena sakit jantung.
"Berapa meter??" Tanya si kakek.
"Satu meter aja kek, soalnya buat belajar belajar doang hehe"
Kakek segera mengambil gulungan kanvas dan memotong satu meter untuk Juna, sementara Juna masih asik melihati isi ruangan itu tanpa rasa bosan.
"Siapa gurunya???"
Juna mengerjap bingung, "gimana kek??" Tanya Juna.
"Guru ngelukis kamu siapa??" Tanya ulang si kakek Dengan jelas.
Juna langsung beroh ria kala itu, "gurunya kakak saya sendiri kek" ucap Juna.
"Oh benarkah? Pasti kakak mu itu pintar"
Juna tersenyum mengangguk, "iya, pinter banget kek" titah Juna.
Kakek menghela nafas panjang, tangannya masih sibuk dengan meteran, mengukur dari ujung kanvas sampai di titik 100 cm pada meteran. Namun detik kemudian kakek tersenyum, "ngeliat kamu kakek jadi keinget sama cucu kakek yang sudah 3 tahun lalu meninggal" tutur kakek.
Juna bergeming, namun tak berkata apapun untuk menjawab ucapan kakek. Membicarakan tentang kehilangan, itu pasti menyakitkan.
"Tapi tadi kakek sudah bertemu dengannya" lanjut kakek.
Ucapan kakek membuatnya bingung, mulutnya ingin bertanya kembali namun kakek sudah lebih dulu menyelanya.
"Ini kanvas kamu, anak muda" ucapnya sembari memberikan gulungan kanvas kepada Juna, senyuman yang di lontarkan kakek sangat teduh dan indah, membuat Juna nyaman bercengkrama dengan beliau.
"Iya, kek makasih" ucap Juna sembari tersenyum ramah.
"Ber-"
"Tunggu!" Sela kakek lagi, sampai-sampai membuat Juna sedikit terkejut.
Juna masih terdiam kaku, tiba-tiba kakek mendekat ke arahnya dengan tatapan mengintimidasi. Menulusuri setiap inci wajahnya dengan teliti.
"Mata kamu??" Tanya kakek.
Juna mengerjapkan matanya beberapa kali, "kenapa kek??" Tanya Juna merasa tidak ada yang aneh dengan matanya.
"Tahun ini kamu mendapatkan banyak kesedihan, kata orang tua seperti itu. Semua terlihat dari mata mu, anak muda"
Juna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "benarkah??" Tanyanya sedikit iba dengan peramalan orang tua, bisa saja itu bohong kan? Atau sebaliknya?
Kakek menepuk bahu Juna, "haha jangan terlalu di percaya ya? Kakek cuma asal nebak kok" ujar si kakek.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION|ENHYPEN[✓]
Teen Fiction[#]Living isn't fucking easy- Start=9 Oktober 2021 Finish=11Desember 2021 Cover by @pinterest