Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
Setiap orang punya ketakutannya masing-masing dan bagi Abigail, atau yang biasa disapa Abi, ketakutan terbesarnya adalah naik burung besi yang dapat memuat ratusan orang. Sumpah demi apa pun yang ada di dunia ini, siapa yang bisa menjamin kalau burung besi ini tidak akan mengalami gagal mesin tiba-tiba saja di atas lautan yang membelah benua-benua lalu jatuh? Siapa yang dapat memastikan kalau di tengah langit tidak ada burung iseng yang tiba-tiba saja masuk di antara baling-baling? Jawabannya tidak ada. Tidak ada satu pun manusia yang dapat memberikan garansi seratus persen kalau benda itu tidak akan membuatnya berpindah alam secara tiba-tiba. Iya kalau ia masuk ke dalam gerbang surga, kalau tiba-tiba saja dosanya cukup berat hingga menariknya ke dalam neraka bagaimana? Duh, mana Abigail belum banyak melakukan hal baik, kira-kira bagaimana sistem dosa ya? Apa ada pengurangan kalau melakukan hal baik?
Abigail menggelengkan kapalanya kencang untuk menghilangkan pikiran aneh yang menempeli kepalanya tanpa tahu malu. Kalau saja ide-ide buruk mengenai berpergian dengan pesawat membayar sewa untuk tinggal di dalam kepalanya, maka Abigail akan kaya tujuh turunan. Semakin dipikirkan, semakin Abigail ingin turun dari pesawat dengan cara apa pun juga. Hal baik ia duduk dekat jendela sehingga ada penghalang untuk merealisasikan ide gilanya itu.
Abigail sudah mencoba berbagai cara untuk mengalihkan pikiran dan juga matanya yang tidak henti melihat gumpalan awan hitam yang menaungi langit, sesekali ada cahaya terang yang menyambar di sana sini. Mulai dari membaca, yang berakhir dengan matanya yang nyut-nyutan lantaran tidak biasa melakukannya, menonton serial di tablet hingga meminum obat anti mabuk yang konon dapat membuat orang tidur, dan yang terakhir aroma terapi yang konon dapat membuat tenang. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil mengalihkan perhatiannya dari jendela berukuran kecil yang tampak akan menyedot jiwanya dari ubun-ubun.
Cuaca yang buruk seperti ini membuat turbulence tidak dapat dihindari dan tiap getaran itu terasa, Abigail berdoa lebih banyak dari yang pernah dilakukannya saat kakinya menginjak bumi. Sungguh, momen seperti ini membuat Abigail setidaknya sudah memiliki stok kebaikan sebanyak mungkin agar doanya terkabul. Atau mungkin dengan jarak yang dekat dengan langit, siapa tahu doa-doa yang melantun dari bibirnya didengar oleh Tuhan.
"Tuhan, sumpah gue nggak bakalan nakal lagi habis ini," bisiknya pelan dengan mata yang terpejam erat. Orang-orang lain yang tampaknya tenang-tenang saja membuat Abigail menggigit lidah agar tidak berteriak setiap pesawat itu mengalami turbulence. Oh, peduli setan dengan orang-orang yang mengatakan ia hanya ingat Tuhan ketika ada hal buruk, toh kenyataannya banyak orang melakukan hal yang sama.
Suara tawa tertahan di sebelahnya membuat Abigail membuka mata dan menatap pelakunya dengan sengit sambil berdoa semua makhluk satu ini masuk ke neraka paling dalam karena menertawai ketakutannya.
Cowok itu masih tertawa sembari menutup mulutnya dengan tangan, seakan suara yang keluar dari sana dapat ditahan oleh jari-jari. Saat sadar tatapan tajamnya, cowok itu berdeham kemudian menggosok hidung dengan jari telunjuk. "Sori, gue bukannya ketawain lo," lalu kembali kelepasan tertawa lagi, "tapi gue jadi inget sama adik perempuan gue yang juga ketakutan naik pesawat."
Abigail mendengkus kuat, perasaannya tidak lebih baik karena cowok itu masih juga tertawa meski pun pelan.
"Adik gue suka main ayam-ayaman kalau lagi ketakutan naik pesawat. Jiwa kompetitifnya langsung mengambil alih ketakutan."
Sebagai orang yang tidak suka kalah, Abigail memperhatikan ucapan cowok itu. Dalam kepalanya, ia juga menggeser status cowok itu dari yang pantas masuk neraka jahanam ke bagian neraka. Satu tingkat lebih baik.
Cowok itu tampaknya tahu kalau kemarahannya kini sudah digantikan dengan rasa penasaran. "Itu lho, permainan yang pakai jempol. Tau nggak?" Tanpa persetujuannya, cowok itu mengambil tangan kanan Abigail lalu menekan jempolnya dengan ibu jari, semenatara jari-jari lainnya dan juga cowok itu saling terkait. Besarnya telapak tangan cowok itu seperti menelan miliknya yang kecil. "Yang kayak gini? Pernah main nggak?"
"Enggak. Gue taunya ayam kampus," balasnya asal yang dihadiahi tawa oleh cowok itu.
"Itu mah gue juga akrab." Tawa menyembur dari bibir cowok itu, hingga mereka mendengar penumpang yang menegur dengan dehaman kencang. Cowok itu lanjut berbisik, "Pokoknya mainnya gini, yang kena tekan jempolnya, dia yang kalah."
"Okay," jawabnya cepat. Dari tenaga saja sudah pasti mereka memiliki rentang yang cukup jauh, jika dilihat dari eratnya kaitan jemari cowok yang tidak dikenalnya ini, tapi jiwa tidak suka kalahnya membara apalagi dengan kilat mengejek yang masih tergambar jelas di mata cowok itu.
Dari sepuluh pertandingan, Abigail hanya mampu menang tiga kali hingga mereka harus berhenti lantaran penumpang lain yang mulai terganggu setiap ia mengeluh kalah atau bagaimana cowok itu bermain curang, padahal tidak.
"Feels better kan?" tanya cowok itu dengan senyum bangga yang terukir di bibir penuhnya.
Mau tidak mau Abigail harus mengakui kalau selama bermain tadi memang ia melupakan kalau pesawat itu masih terbang di antara awan-awan kelabu dan kini dari jendela ia sudah dapat melihat pekatnya langit di malam hari. Tidak ada turbulence yang membuatnya ketakutan. Pesawatnya melaju dengan tenang.
Abigail memperhatikan bagian dalam pesawat, memanjangkan lehernya dan melihat kegelapan. Hanya di kursi mereka saja yang masih menyala lampunya. Abigail terlalu fokus karena tidak ingin kalah hingga melupakan keadaan sekitarnya yang sudah berubah.
Cowok di sebelahnya menguap lebar, membuatnya melakukan hal yang sama tanpa dapat ditahan. Sudut matanya berair dan tiba-tiba saja kantuk menyerang. Telapak tangan tiba-tiba saja berada di depan mukanya hingga Abigail harus memundurkan tubuh karena terkejut.
"Elan," cowok itu mengucapkan satu kata saja dengan dua sudut bibirnya tertarik ke atas. Namun, yang paling menarik perhatian Abigail adalah mata Elan yang hampir membentuk garis lurus ketika tersenyum. Mengingatkannya pada karakter dengan dua rambut yang digulung di atas kepala dan mengenakan choengsam berwarna merah.
Abigail menangkap tangan cowok itu yang masih bergerak-gerak di depan mukanya. "Abigail." Lalu ia kembali menguap lebar. "Abi aja," sambungnya di tengah mulutnya yang terbuka.
Elan lalu melihat ke jam di layar depannya yang menunjukkan waktu berapa lama lagi mereka akan tiba, "Kita masih punya waktu buat tidur, nih. Gue mau tidur dulu, lo nggak takut lagi kan?" Elan melebarkan selimut yang menutupi paha hingga ke bawah kakinya agar tidak turun. Hal yang membuat Abigail sadar lagi kalau suhu di sana lumayan dingin untuknya yang terbiasa dengan cuaca tropis, bahkan pendingin ruangan di kamarnya saja harus 28 derajat.
Abigail membuka plastik selimut yang selama ini menjadi sandaran pinggangnya lalu menutup seluruh tubuh kecuali kepala dengan benda itu lalu membiarkan tubuhnya yang sudah rileks semakin terhanyut dalam mimpi yang menjemput.
4/12/21
Revisi tipo 15/3/22Enjoy the ride with Abi and El! Bisa baca cerita on going lainnya di akun ini yaa
BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Nook And Cranny [FIN]
ChickLit[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...