SETELAN jas formal yang dikenakan Bagas menandakan kesiapannya berangkat bekerja pagi ini. Laki-laki yang juga terkesan menawan dengan tatanan rambut pomadenya itu melenggang ke meja makan guna menyantap sarapannya.
"Mbok Jum!" panggil Bagas sembari menduduki kursi di kepala meja makan. "Mbok Jum, tolong buatkan saya kopi."
Belum adanya sahutan, Bagas yang hendak mengulang titahnya seketika teringat Mbok Jum sudah tidak lagi tinggal di Kediaman Wardaya. Bagas mendesis dan mulai mengurut pangkal hidungnya.
Tidak ada yang lebih menggambarkan suasana ruang makan utama itu selain daripada sunyi sebagai teman setianya setiap pagi. Seharusnya Bagas tak melihat akan ada ubahnya setelah parasit itu enyah dari kehidupannya.
Sebutlah dirinya serakah. Toh, percuma walaupun seribu kali ia menyangkal tak memiliki ambisi menguasai harta orang tua angkatnya dan mendepak pewaris sesungguhnya kerajaan bisnis Wardaya. Memang benar empat tahun lalu ia ingin melihat kehancuran perusahaan kebanggaan Dipta Wardaya tersebut. Sehancur-hancurnya sampai Bagas percaya cara itu dapat memuaskan rasa balas dendamnya.
Namun, perjodohannya dengan Irena membuat Bagas berpikir ulang. Ia masih membutuhkan posisinya di perusahaan itu untuk mengikat Irena. Menjamin hubungan mereka sejalan oleh landasan pernikahan bisnis antara Wardaya Corporation dengan Adinata Fintech Group.
Perlahan, tetapi pasti Bagas berhasil mengakuisisi saham Wardaya dari tender offer perusahaan barunya. Sasaran terakhirnya pada Sambara Stable kian menambah angin segar yang berembus di atas kepalanya. Maka, selanjutnya tinggal sedikit lagi untuk perusahaan barunya naik ke permukaan dan menggantikan masa-masa kejayaan Wardaya Corporation.
Menyudahi sarapannya, Bagas memutuskan langsung berangkat ke kantor. Ia harap kali ini sopir baru itu tidak membuat kekacauan lagi dengan mobilnya.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Bagas sudah cocok dengan Ageng. Kalau saja sopir rekomendasi Pak Imron itu tidak sok ikut campur urusan orang lain, mungkin Bagas juga tidak sampai memecatnya.
Sebelum beranjak dari meja makan, Bagas menyadari arlojinya masih tertinggal. Seingatnya semalam ia melepaskannya di ruang kerja.
Bagas menggerapai seisi permukaan meja kerja. Ternyata jam tangan analog itu terselip di bawah sela-sela letter tray. Selagi mengenakannya di pergelangan tangan kiri, perhatian Bagas yang belum beralih dari letter tray, sejenak mulai terfokus oleh sesuatu menyembul seperti amplop cokelat dengan garis tepi merah biru itu.
"Budi Setiawan?" gumam Bagas membaca nama pengirim yang tertulis di pojok kanan atas amplop. Sementara benar surat tersebut ditujukan ke alamat kediaman Wardaya.
Biasanya Pak Madun melaporkan surat-surat yang datang ke rumah. Namun, Bagas tidak merasa pernah menerima amplop itu atau mengenali siapa itu Budi Setiawan. Perkiraannya amplop ini seperti berisi surat lamaran kerja.
"Pak Bagas, tadi surat lamaran kerja keponakannya Pak Imron yang mau jadi sopir itu sudah saya taruh di ruang kerja Pak Bagas."
Ah, Bagas ingat sekarang. Waktu itu Pak Madun sudah mengatakannya, tetapi Bagas tidak langsung mengecek ke tempat surat. Keanehan yang tiba-tiba disadari Bagas, segera dibuktikannya dengan membuka kancing tali amplop cokelat tersebut. Jika benar ini surat lamaran kerja keponakan Pak Imron, kenapa nama si pengirim itu berbeda dengan nama mantan sopirnya saat mengenalkan diri?
Bagas memindai pas foto berukuran 4x6 cm berikut semua lampiran fotokopi yang tercantum dalam surat lamaran kerja tersebut. Sudah sangat jelas mereka orang yang berbeda.
Jika Budi Setiawan adalah keponakan Pak Imron, lalu siapa itu Ageng?
❤
"Tanggalnya sudah diputuskan. Pernikahan kalian lebih baik dimajukan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
General Fiction[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya dengan harapa...