[0] : O3

227 26 2
                                    

Mereka berdua duduk diam di depan televisi, menonton kartun yang tertawa namun mereka tidak. Perempuan berkepala empat menatap kedua orang tersayangnya yang tidak berbicara sedikitpun, ia takut akan ada perdebatan.

"Kapan kalian mulai pacaran?"

"Seminggu yang lalu, Yah."

"Tapi kenapa kamu milih yang 'sama', bukan 'beda'? Ayah ga ngerti,"

"Maaf adek lupa cerita, tapi adek emang kayak gini, maaf bikin Ayah sama Bunda kecewa."

Telunjuk dan ibu jari tangan kanan milik Ayahnya terpakai untuk mengurut hidung beliau, tidak bisa mengabaikan kebahagiaan anaknya sendiri dan terlalu fokus pada tujuannya. "Dia baik?"

"Baik, banget. Mau ketemu?"

Melihat anaknya menunjukkan mata yang berbinar senang, Ayahnya terpaksa mengangguk, jika bisa membuat anaknya suka mungkin laki-laki yang sudah menjadi pacar anaknya itu bukan orang yang sembarangan.

Esoknya, Kun dengan kaku menyapa orangtua Yangyang yang menatapnya sedikit sinis namun tidak berkata apapun yang merusak suasana waktu itu. "Ini Kun, pacarku."

"Lumayan juga, kamu pake pelet ya dek?" tanya Ayahnya setelah melihat Kun dari kepala hingga kaki, tidak berbahaya. Yangyang menggeleng kuat, dia hanya tiba-tiba menyukai saat bertemu di acara kampus, itu saja. Sisanya hanya kenangan manis menghabiskan hari-hari yang membosankan.

Bunda Yangyang menawarkan Kun untuk makan siang bersama, terdengar dari perut Kun yang tidak sopannya berbunyi saat tidak ada yang berbicara. 

Saat Kun pamit pulang karena  sudah malam, Ayah Yangyang kembali kepada ekspresi masamnya. Menerima sebuah hal yang diluar kendalinya sepertinya tidak semudah itu, tapi Ayahnya terkejut melihat bagaimana Yangyang bahagia melakukan apapun meskipun Kun hanya mampir untuk sebentar.

Sepertinya tidak apa-apa, asal darah dagingnya bahagia, dan selalu menuruti apa maunya demi masa depan menjanjikan bagi Yangyang.

— —

Rumah yang dulu ramai suara televisi karena ayahnya suka dengan acara di televisi, sekarang sudah tidak ada. Kali ini dengan terpaksa dirinya duduk di kursi roda, menatap rumahnya lesu dan tidak bersemangat, dia tidak ingin semua ini berakhir.

Jika Kun benar-benar akan mempertahankan hubungan kekasih antara mereka berdua, dia berharap bisa menghasilkan hasil yang baik dan banyak keajaiban yang datang. Jika itu benar-benar terjadi.

"Senyum," ucap bundanya yang saat ini berjongkok di depannya, menarik bibir Yangyang ke kiri dan kanan sehingga terbentuk senyum terpaksa dari tatapan yang tidak memiliki semangat.

"Mana Ayah?"

"Ngurus paspor sama visa, minggu depan rencananya udah pergi. Gapapa ya?"

Terkekeh, Yangyang mengangguk. Suasana seperti ini membuatnya malas untuk bersikap egois, sudah cukup satu tahun ke belakang membuatnya bahagia tak terkira.

Sore-sore seperti sekarang, Kun selalu tiba-tiba datang membawakannya makanan setelah selesai koas giliran pagi. Terkadang sushi, burger, atau bahkan nasi goreng dekat rumah sakit tempat Kun koas. Semua makanan itu terasa lezat, karena menghabiskannya bersama Kun, laki-laki yang sangat dia sayang.

Yangyang ingin bertemu dengan Kun, sudah 3 hari dirinya menjauh, menggunakan alasan harus beristirahat penuh serta menunggu diperbolehkan keluar dari rumah sakit. 

Terdengar suara dering telepon dari handphone Bunda Yangyang, pasti Ayahnya. "Halo?"

"Halo lagi, Bunda."

Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang