[I] : 14

117 14 1
                                    


Suara tamparan yang keras itu memenuhi ruangan keluarga sekarang. Di beberapa detik ia diberi jeda untuk menghirup napas serta menahan rasa sakit yang sangat, Yangyang tetap fokus melihat orang tuanya tepat di mata mereka.

"Kenapa kamu balik kesana?"

"Karena aku kangen."

"Kamu pacaran sama Kun lagi? Iya?"

"Nggak."

"Bohong!"

"Nggak, Yah."

"Ayah nggak percaya. Bun, telepon mamanya Kun, tanyain apa si anak nakal ini pacaran lagi sama Kun,"

Sebelum Bundanya sempat mengambil handphone miliknya, Yangyang telah berhasil mengamankan ponsel itu. Tergenggam erat di kedua tangannya.

"Ayah boleh marahin Yangyang sebanyak apa pun, tapi tolong jangan seret mamanya Kak Kun buat masalah keluarga kita."

"Tapi ini nggak bakal terjadi semisal kamu nurut sama Ayah, Yangyang."

"Aku udah nurut selama setahun, diem di rumah, ga ikut temen main, atau bahkan sekedar belanja baju di supermarket deket rumah. Apa harus selamanya Yangyang dikurung sama Ayah?"

Lagi. Kali ini pipi sebelah kirinya, sangat pas dengan kedua pipinya yang kini memerah bekas tamparan.

Meninggalkan masalah tanpa selesai, Ayah Yangyang memasuki kamar yang diikuti Bunda Yangyang, membuat si anak tunggal berdiri sembari meringis menahan sakit.

Jika karirnya saja ditentukan, apakah masa depannya juga?

Padahal dia sudah sangat bahagia melihat ekspresi lucu dari wajah Kun saat di bandara, sekarang dirinya sudah menerima dua tamparan keras yang membekas.

Hari-harinya di Jerman tidak secerah ketika di negara tempatnya lahir.

Menghadapi tatapan tajam dari ayahnya setiap bermain dengan teman laki-lakinya, dikurung di kamar penuh fasilitas dan jajanan selama beberapa hari demi membuatnya sadar akan kesalahannya, yang bahkan Yangyang sendiri tidak tahu.

Ia hanya menjalani harinya sebagaimana manusia normal, tapi harus mengalami kurungan seperti itu.

Bahkan beberapa temannya mulai tidak nyaman padanya, mengetahui jika Yangyang diawasi penuh oleh ayahnya. Padahal Yangyang sudah dewasa, dia tahun depan berumur 20 tahun.

Memasuki kamarnya yang memiliki hawa seperti itulah 'rumah'-nya, ia menutup wajahnya di bantal berwarna coklat favoritnya di Jerman.

Apa salahnya? Ayahnya bisa jujur saja padanya, mengatakan tidak menyetujui hubungannya, tidak perlu hingga membuatnya seperti burung peliharaan yang dikurung dalam kandang.

Meskipun diberi makan secara berkala, diberi tiga botol air sehari sekali, dibuat kamar mandi dalam, dan tempat khusus untuk meletakkan baju kotornya, jikalau tujuan dari semuanya bukan untuk mengurungnya, pasti Yangyang sangat menyukai kamarnya sekarang.

"Gimana bisa gue balik pacaran sama Kak Kun, kalau orangnya aja malah jadi ga peka gitu."

Yangyang terkekeh. Hidupnya di Jerman tidak pernah nyaman.

Dia berharap, Jerman bisa menjadi negara yang dia sukai diluar ia selalu dikurung dan dilarang untuk melakukan banyak hal.

Setidaknya dalam menjalani penderitaannya, laki-laki itu beruntung memiliki teman yang sangat paham penderitaannya, yang selalu siap sedia saat Yangyang membutuhkan bantuannya, atau mempersiapkan telinga untuk mendengar keluhan Yangyang.

Namanya Haechan, laki-laki baik yang sangat menghargai keadaan Yangyang.

"Kalau ga ada Haechan kayaknya gue bisa gila di sini," ucapnya bermonolog disertai hembusan napas yang panjang.

Kepalanya menoleh tidak semangat begitu mendengar pintu kamarnya diketuk dua kali, dan terdengar kunci pintu diputar dua kali dari luar kamar.

Itu ayahnya, beliau melakukannya lagi. Tanpa meminta pendapat Yangyang, merubah suasana keluarga yang sebelumnya bahagia menjadi tanpa suara.

Suasana tanpa suara, disaat bahkan ucapan selamat pagi terdengar menakutkan jika terucap tidak sengaja.

Ini bukan keadaan yang seharusnya terjadi. Yangyang tidak menginginkan sifat ayahnya sekarang, entah apapun alasan valid di belakang semua perbuatan tidak masuk akal ini.

Berteriak di kamar yang didesain kedap suara, Yangyang menangis. Dia tidak ingin seperti ini, dia ingin menjadi Yangyang yang dulu, Yangyang si ceria pembuat matahari bagi Kun.

Tidak lama setelah berteriak hingga suaranya menghilang, Yangyang tertawa.

Menertawakan hidup menyedihkan yang dia hadapi, melakukan hobi yang tidak ia suka hanya untuk menghilangkan bosan, semua itu hanya terulang tanpa adanya rasa bahagianya menjadi hasil.

"Pengen main keluar, Yah. Ayah kenapa jadi beda? Kenapa larang Yangyang pergi keluar padahal cuma duduk di cafe, ngobrol sama temen, kenapa malah kurung Yangyang di sini? Hmm, Ayah ga peduli lagi sih ya sama Yangyang?"

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok ayahnya yang berbeda, menatapnya tajam.

"Yangyang."

"Apa?"

"Duduk. Ada tamu."

"Koleganya Ayah kan itu? Ga mau."

"Duduk, Liu Yangyang."

"Ya, oke—"

Yangyang refleks menutup kamar kembali saat melihat teman perempuannya, berdandan cantik di ruang keluarga, melihat Yangyang dengan wajah penuh riasan yang pasti berbahan mahal.

"Yangyang! Kenapa ditutup pintunya, Nak? Buka!" Buta dengan apa ketertarikan Yangyang dalam hal cinta, Bundanya meneriakinya menyuruh menuruti permintaan orang tuanya.

"Kamu harus nikah sama dia, Yangyang! Kalau kamu lulus kuliah, dia bakal jadi istri yang baik buat kamu, turutin kemauannya Ayah sama Bunda, ya? Kami udah tua, cuma bisa lakuin ini demi kebahagiaan kamu!"

Itu omelan beserta curhatan yang sangat tidak disukai oleh Yangyang, begitu ia membuka pintu kamarnya.

"Bahagiaku bukan urusan kalian, Bun. Berapa kali Yangyang bilang, kalau Yangyang bakal nurutin apa aja peraturan super ketat yang kalian bilang, kecuali satu. Percintaan Yangyang, hak Yangyang. Kenapa Bunda lupa hal itu?"

"Karena Ayah kamu yang usulin ini. Bunda cuma bisa ngikutin kemauan beliau, karena Bunda percaya keputusan Ayahmu itu baik buat kamu."

"Kalian siapa? Yangyang ga kenal kalian." Ucap Yangyang sinis, dia tidak tahu sudah tinggal satu tahun dengan siapa, karena ia tidak menganggap perlakuan orangtuanya sama seperti orangtuanya yang dirinya kenal sejak kecil.

Mengernyit bingung, bundanya memegang pundak anaknya sedikit tidak sabar. "Kamu amnesia??? Udah jelas ini Bunda kok, kita ga berubah, masih sama kayak dulu,"

"Kalau emang sama kayak dulu, kenapa maksa Yangyang buat nikah sama pasangan yang kalian tentuin. Mana hak Yangyang, Bun? Mana?"

"Yangyang..."

"Apalagi Yangyang harus nikah sama temen satu kampus, satu jurusan, dan satu kelas, yang aku tau dia udah punya pacar? Mana hak Yangyang sebagai anak, Bun?"

"Dia bagus buat kamu. Bunda minta tolong banget, terima ya??"

"Bunda sebenernya setuju adek pacaran sama Kak Kun ga sih dulu? Harusnya kalau setuju, adek ga bakal dipaksa kayak gini."

"Bunda udah ga tau lagi, Nak. Ga paham sama pikiran ayahmu, jadi Bunda cuma bisa maksain keputusan yang bahkan Bunda ragu kamu terima dengan senang hati."

"Kalau gitu, jangan paksa Yangyang nikah sama temen sendiri, Bun. Apalagi orangnya, Ningning? Pacarnya Haechan?"

—Part I end.

Part II is coming!

Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang