[I] : 12

119 13 2
                                    


Ponselnya berdering ketika Kun baru saja mengurus pasien yang sedikit susah diberitahu. "Ten? Ada apaan?"

"Kun, ada orang yang ngira kita pacaran, gimana menurut lo?"

"Menurut gue sih... ga mungkin lah kita pacaran. Kita kan temen, yakali gue suka sama lo?"

"Terus kenapa lo waktu itu gendong gue?"

"Karena gue khawatir sama lo?? Lo tumben banget nanya ginian,"

"Kita ga bakal pacaran kan ya?"

"Lo pengen pacaran sama gue?"

"Ck, nggak lah. Yaudah, makasih udah buktiin kalau gue sama lo cuma temen, ga lebih."

"Mana bisa gue pacaran sama lo kalau gue masih pengen sama Yangyang, aneh. Udah gitu doang nih? Kalau iya gue matiin,"

Tepat setelah Ten mematikan telepon duluan sebelum Kun sempat melakukannya, pintu ruangan kerjanya terbuka tiba-tiba dan Saebom lah pelakunya.

"Ngagetin lo, kenapa sih?"

"Ada bapak-bapak ngejar gue njir. Takut,"

Kun tertawa, membuat Saebom tidak terima, padahal perempuan itu masih harus mengurus administrasi beberapa pasien. "Kok lu ketawa?? Bahagia ya gue diserang bapak-bapak umur 50an??"

"Ga, pfft. Lo tuh bisa-bisanya lari pake baju perawat dari lantai pertama ke lantai tiga."

Apakah tujuan Saebom diketahui oleh Kun? Walaupun ada banyak tempat persembunyian, Saebom hanya ingin melihat wajah Kun demi membuatnya baik-baik saja.

"Gapapa dong, gue kan pake yang model celana,"

"Coba nanti lo keluar dari ruangan gue, terus liatin wajah orang-orang yang ada di lantai pertama sampai lantai tiga."

Terjatuh karena sadar akan kelakukannya, Saebom membuka mulutnya putus asa. "Image gue udah ga ketolong... Gimana dong, soalnya bapak-bapak tadi beneran ngejar dari lantai satu sampe sini—"

"Saeeee!"

"Kun tolongin gue!"

Mau bagaimana lagi. Kun yang masih sedikit terkekeh pun akhirnya membuka pintu ruangannya, memperlihatkan bapak-bapak berumur 50-an berhenti mengetuk pintu.

"Ada apa pak? Ini pintu ruangan saya,"

"Sae sayang ada nggak dok? Saya pengen ngajak nikah dia, katanya dia masih belum nikah, sama kayak saya, hehe."

"Iya pak, setau saya dia memang belum nikah, tapi kalau sampai bapak kejar dari lantai satu sampai sini, bapak bikin Saebom takut. Masa mau nikah sama perempuan yang takut sama bapak?"

"Tapi saya pengen banget nikah sama dia, soalnya mirip sama almarhum istri saya."

Kun mempersilakan Saebom untuk muncul, karena sebelumnya bersembunyi di punggung Kun yang lebar.

"Maaf pak, saya ga mau nikah sama bapak, jadi tolong jangan kejar saya."

"Kamu sukanya sama dia ya??" Tanya orang tersebut sembari menunjuk Kun. Tidak ada jawaban, Saebom mengangguk kecil.

"Pantesan, seleramu aja yang seumuran. Kecewa aku, sia-sia deketin kamu kalau gitu."

Saebom menjawab dengan suara kecil, sehingga hanya Kun yang mendengarnya. "Mana ada gue mau dideketin sama bapak-bapak tua kayak lu."

Kun yang tersadar dari lamunannya, tertawa.

Karena jam kerja Kun sudah selesai, laki-laki itu pamit pada Saebom ketika ia berpapasan dengan Saebom yang sudah kembali ke tempat kerjanya. Dengan malu, perempuan tersebut membalas walaupun senyumnya terlihat canggung.

Saebom masih bingung apakah Kun mendengar semua pembicaraannya dengan laki-laki yang mengejarnya tadi. "Eh, Kun."

"Apa, Sae?"

"Lu tadi dengerin semua obrolan gue sama bapak-bapak ga?"

Terdiam sebentar, Kun menggeleng. "Tadi gue tiba-tiba kepikiran sama sesuatu, jadi ga tau lo ngomongin apa aja sama beliau. Gue balik ya,"

"Oh, oke."

Saebom ingin kesal dengan Kun saat ini, tapi sepertinya laki-laki itu memang tidak pernah bisa minat padanya untuk sekarang.

Sedangkan laki-laki yang tidak peka tersebut memasuki mobilnya dengan santai, seakan-akan tidak peduli pada kejadian sebelumnya.

Besok Kun sepertinya harus ke supermarket, membeli makanan dan minuman yang sedang promo, hitung-hitung belanja kecil sebelum persediaan di rumah habis.

Yang mana sejalan dengan bandara.

– – –

"Gue ga butuh bantuan, Jun. Lo jalan-jalan sama Hendery gapapa, besok lo masih bisa nganter gue ke bandara. Ya?"

"Habis ngapain lo di cafe tadi?"

"Bukan apa-apa."

"Yangyang,"

"Apa?"

"Nggak." Xiaojun mengambil baju Yangyang yang berantakan di koper lalu merapikannya, tidak peduli dengan tatapan Yangyang padanya.

Padahal dia benar-benar bisa memasukkan semua bajunya, tapi teman dekatnya tidak sepemikiran dengan Yangyang.

Bagaimana mungkin isi koper yang seharusnya cukup, menjadi sangat penuh hanya karena Yangyang tidak mau melipat bajunya.

"Jangan bilang pas lu kesini, ini koper juga berantakan??"

Yangyang terkekeh dan menggeleng. "Waktu itu gue lagi kesambet makanya nggak seberantakan ini. Udah ih, jangan repot gegara gue,"

"Kayak baru ketemu gua kemarin aja."

Melihat Xiaojun sangat sabar menata isi koper miliknya dengan rapi, Yangyang kembali melamun memikirkan kejadian di cafe tadi siang.

Rasanya tetap mengganjal, membiarkan pernyataan Ten dan Kun tidak pacaran begitu saja. Pertanyaan Kun sebelum telepon terputus, sukses membuat Yangyang berpikir apakah perasaan Kun sudah berubah.

Mengajak sahabat berpacaran dengan santai? Ajakan apa itu?

Yah, hari ini perasaannya sedang campur aduk. Dari Kun mengajak Ten berpacaran begitu santainya, dan ucapan Kun sendiri jika mantannya masih menginginkannya.

"Kan, diem bentar doang wajahnya udah merah, padahal tadi keliatan sedih."

"Diem Xiaojun, sana jalan-jalan aja sama pacar lo, ganggu orang pengen sendiri aja."

"Nggak pergi sampai koper lo rapi. Mana lagi yang harus masuk?"

Yangyang terpaksa mengambil barang-barang miliknya dan memberikannya pada Xiaojun sebelum diomeli.

Tapi dia bersyukur, memiliki teman seperti Xiaojun disaat dirinya sedang tidak bisa bercerita apa pun.

"Jun, makasih udah bantuin. Makasih juga sebulannya dikasih makanan enak terus, uang gue jadi sisa banyak."

"Ya sama-sama. Dah selesai nih, gue pergi pacaran dulu ya,"

"Yang lama, sampe besok sekalian juga gapapa."

"Gua gabisa nganterin lu ke bandara lah! Aneh."

"Gue pengen deh, kisah cinta gue ada romantisnya dikit di sini sebelum balik Jerman."

"Mimpi aja terus. Bye, jomblo,"

"Bye."

Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang