[II] : 18

101 13 0
                                    


Sudah jalan 5 bulan setelah Yangyang mengucapkan janji pada ayahnya. Beruntungnya, sedikit lagi janji Yangyang akan benar-benar terealisasikan.

Dan yang lebih beruntung lagi, dia bisa bertemu dengan Kun, laki-laki yang sangat Yangyang sayang lebih dari apapun.

Menghembuskan napas lelah di ranjang rumah sakit, matanya mengerjap lelah. Bisa dipastikan, Yangyang memaksa dirinya sendiri hingga dirawat di rumah sakit.

Hari-hari yang dilaluinya menjadi saksi bagaimana rasa sakit tertahan selama 3 bulan menyelesaikan skripsi. Muncul dalam satu hari, dan disembuhkan dalam 3 minggu.

Dinding putih, atap putih, dan ranjang putih. Yangyang mencoba sekuat mungkin tidak merasa takut mengingat betapa menyakitkannya ketika kakinya dioperasi dulu.

Jika operasi itu bisa secara permanen menyembuhkan kakinya, semua penderitaan ini tidak akan terjadi.

Maka sudah dipastikan hidup Yangyang akan penuh kebahagiaan, menghabiskan waktu bersama Kun, dan banyak senyum terukir di wajahnya setiap harinya.

"Capek."

Berjuang sendirian, bertemu neraka setiap menginjakkan kaki di rumah, merasakan penjara setiap ayahnya menatap matanya secara tajam, rasanya melelahkan.

Air mata mengalir dari matanya, mengeluarkan keluh kesah yang tidak bisa dikeluarkan berbentuk kata-kata.

Andai tangannya bisa meraih badan besar milik Kun, menangis di baju kasual yang Kun pakai, mendengarkan kata-kata penenang dari mulut Kun, Yangyang berharap dia bisa merasakannya.

Ketika laki-laki asik berandai pada hal yang tidak mungkin terjadi, pintu ruang rawat terbuka. Teman dekatnya selama dirinya berjuang dalam neraka, menjenguknya sembari membawa buah tangan.

"Mau pisang?" tanyanya sebagai awalan obrolan.

"Ga minat makan, keluar mulu. Lo udah makan, Chan? Gimana Ningning?"

"Gue udah makan tenang aja. Ningning lagi ngobrol sama papanya, minta perjodohan kalian dibatalin karena lo minggu depan udah lulus kuliah. Alias, rencana lo berhasil."

Memasang ekspresi lega dalam posisi berbaring, Yangyang menepuk punggung Haechan bangga. "Kalau Kak Kun beneran mau, gue bisa bebas dari rumah yang kayak neraka itu."

"Gue yakin mantan lo mau, lo aja manis gini."

Yangyang terkekeh, merasa malu dipuji oleh temannya sendiri.

Setidaknya, selama Yangyang mengobrol dengan Haechan, rasanya semangatnya meningkat sedikit demi sedikit. Menganggap jika kesempatan bebas sekecil ini harus Yangyang gunakan sebaik-baiknya.

Mereka berdua menghabiskan waktu sejak matahari berada di atas kepala hingga berganti menjadi bulan. Hingga Ningning yang berniat ingin menyuruh Haechan pulang, menjadi penambah kebahagiaan Yangyang. 

"Oh ya. Yangyang, Kun itu orangnya gimana? Punya fotonya?"

Mendengar pertanyaan tiba-tiba tentang mantan pacarnya—yang sebentar lagi akan menjadi pacarnya lagi—tersenyum malu berpura-pura berpikir keras.

"Jawab aja sih, lama amat." Gerutu Haechan tidak sabar.

"Mau gimana lagi, karena kalian minta, gue kasih tahu."

***

"Dek,"

Yangyang menoleh, ikhlas tidak menonton film kesukaannya demi melihat wajah tampan Kun. "Apa?" tanyanya dengan nada pura-pura tidak peduli.

"Menurutmu Kakak gimana?"

"Apanya?"

"Penampilan atau sifat Kakak gitu. Menurut Yangyang gimana? Kakak penasaran,"

"Tiba-tiba?? Ada orang yang ngejek Kakak ya??"

Menahan rasa penasarannya, Kun bersuara. "Nggak, Kakak penasaran aja. Kan kita udah pacaran 10 bulan nih, Kakak penasaran apa yang bikin kamu betah sama Kakak."

"Berat," jawab si manis sembari sedikit menjauh menutupi wajah merahnya yang seperti kepiting. Namun melihat ekspresi Kun yang sudah sangat penasaran, Yangyang menghembuskan napasnya mengendalikan debaran jantungnya.

"Yang pertama, wajah. EH–aku nggak nganggep kalau Kakak ga ganteng kita ga mungkin pacaran ya. Maksudku wajah tuh gini, karena sejak kecil wajah cowok yang aku lihat hampir sama semua, Kakak beda. Dimana pun aku merhatiin bentuk wajah cowok yang deket sama aku, nggak ada yang semenarik Kakak. Mungkin juga udah takdir kan, nemu cowok seganteng Kak Kun."

"Kedua, manner. Walaupun pas dulu kita pdkt Kakak agak freak buat aku, tapi aku ngerti Kakak berusaha sebisa mungkin bikin aku nyaman dengan cara Kakak sendiri. Terus sering bantu nenek-nenek yang ga dikenal bawa barang mereka, ngajak aku dua kali ke panti asuhan punya mama Kak Kun, dan banyak hal baik yang Kakak ajarin ke aku, Kak Kun kelihatan keren banget."

"Ketiga, takdir. Dengan nerima kalau aku suka sama yang satu gender, itu yang paling membantu gimana kita bisa pacaran selama ini. Waktu ketemu Kakak tuh rasanya aku seneng banget, nemu laki-laki yang pas buat aku, dan, yaudah sekarang kita pacaran."

Mencoba melihat bagaimana reaksi Kun dengan kejujurannya, Yangyang terkejut. Pasalnya sekarang Kun terlihat menangis tanpa suara, kemudian memeluk si manis erat, seperti memberi isyarat tidak akan melepaskan Yangyang pada siapapun.

***

"Jadi.. kenapa kalian malah ikutan nangis juga?" tanya Yangyang bingung.

Kedua temannya bertatapan sebentar, kemudian secara bersamaan memeluk Yangyang.

Jika itu Haechan atau Ningning yang bercerita, mungkin mereka berdua sudah tidak sanggup menceritakan cerita sedetail itu. Terlalu menyakitkan untuk diingat, namun terlihat biasa saja saat Yangyang yang mengatakannya.

"Katanya dokter, besok gue udah boleh pulang. Ga sabar minggu depan wisuda."

"Serius udah gapapa? Pusing ga? Atau mungkin lo masih agak lemes? Biar gue sama Ningning bisa bantu lo,"

"Beneran gapapa, Chan, santai aja. Nanti bikin party buat ngerayain gue lepas dari rumah neraka sama balik ke negara asal gue, gimana?"

Ningning yang pasrah dengan keputusan Yangyang, menyetujui permintaan teman satu jurusannya, membuat Haechan kalah suara.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, yang membuat ketiganya sadar sudah menghabiskan terlalu banyak waktu. Dengan berat hati, Haechan dan Ningning pamit pulang sebelum besok kembali lagi membantu membereskan barang-barang milik Yangyang.

"Makasih banyak, kalian. Udah banyak bantu gue selama ini,"

"Makasih juga, Yangyang,"  jawab Haechan tersenyum lebar sembari merangkul pundak Ningning. "Kalau lo ga ngasih solusi paling membantu, mungkin kita berdua bukan pasangan lagi. Gue harap lo bisa ketemu sama Kak Kun lo, dan sebar undangan semisal nikah."

"Ni–HAH? Haechan, apa-apaan!"

—Yangyang focused, ended.

Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang