[II] : 20

102 12 1
                                    


"Jadi calon lo ngilang? Kok bisa?"

"Dia sama pacarnya, cewek. Dan gue belum bilang ke orangtua gue kalau dia kabur ga bakalan balik. Lu mau ga?"

"Kita pura-pura saling suka gitu?"

"Iya, kan lu kehilangan pacar lu, gue ditinggal calon suami gue."

Tidak ada jawaban. "Gue terima. Tapi gue ga bisa nyentuh lo sampai gue siap, jadi jangan pernah maksa entah karena nafsu atau omongan orang lain."

"Oke. Kalau gue sesekali hampir kayak gitu ingetin gue, gue juga butuh waktu buat move on dari cowok itu,"

"Berarti besok gue ke rumah lo sambil ngajak Mama?"

"Iya lah. Acaranya tinggal dua minggu lagi,"

"Tunggu," Kun yang baru saja akan berdiri terhenti. Ada yang salah sekarang. "Dua minggu lo bilang? Seriously?"

"... serius, hehe. Maaf?"

"Apa yang bikin lo merasa bilang maaf?"

"Eh?"

Berusaha menenangkan diri untuk tidak meledakkan emosinya, Kun menghembuskan nafas kesal. "Harus banget dua minggu?"

"Nggak juga... sih. Tapi! Karena mereka maksa banget kapan cowok yang gue pilih dateng ngelamar, mau ga mau akhirnya nyiapin semuanya sendiri."

"Udah gue tebak lo ga pernah mikir tentang gue sama sekali, ya. Dua tahun kita temenan, lo selalu gampang terpengaruh sama omongan orang. Kayak waktu lo dikejar bapak-bapak, lo sengaja make gue biar menangin ego lo doang kan?"

"Lu kenapa, sih, berubah cepet banget padahal tadi setuju sama kemauan gue. Dan tebakan gue bener, lu waktu itu pura-pura ga denger,"

Mendekatkan wajahnya pada Saebom, laki-laki itu tersenyum miring. "Karena waktu itu gue masih mikirin Yangyang, bukan lo."

Mereka terdiam sebentar. Saebom masih terkejut saat Kun tiba-tiba sangat dekat dengan wajahnya, membuat perempuan itu sedikit takut dan menyesal sudah melibatkan Kun pada keegoisannya.

"T-tapi sekarang lu udah ga mikirin dia lagi, kan? Kalau gitu harusnya lu setuju karena tahu gue orangnya egois,"

"Siapa tahu? Kalau orangnya ada di sini atau minimal satu kota sama gue sekarang, mungkin gue akan ngejar dia daripada ngejar lo."

"Kenapa? Gue ga cukup? Apa harus gue kasih bukti seberapa besar kemauan gue demi lepas dari beban omongan keluarga–"

"Ga, ga perlu, makasih. Karena semenjak gue kenal Yangyang, ga akan ada orang lain yang bisa ganti dia, mau lebih baik atau jauh lebih buruk. Hmm, gini aja, gue ada ide,"

"Ide?" ucap Saebom meremehkan, sangat kesal keinginan sepihaknya ditolak hanya karena omongan tidak masuk akal Kun. "Apa idenya?"

"Kita cari seseorang yang mau lamar lo cepet."

"H-hah? Jangan bercanda. Lu gila, ya? Gue cuma mau sama lu!"

"Dan gue masih pengen berjuang buat nunggu Yangyang sampai kapanpun. Gue kenal beberapa yang udah mapan dan siap lamar cewek kok, gimana?"

"Lo gila, Kun, sumpah."

"Seenggaknya gue ga bakal nikah sama orang yang ga gue suka. Ide gue bagus, terima aja sih,"

"Egois."

"Ngaca, Sae. Yang mulai kita debat karena lo egois juga lo sendiri. Dua atau tiga bulan mungkin masih gue terima," Kun terkekeh sinis. "Tapi dua minggu? Lo yang harusnya jangan bercanda."

Saebom melihat kedua mata Kun lama hingga pikirannya semakin kacau, memikirkan kemungkinan terburuk tidak menikah bersama laki-laki yang ia inginkan.

Ah. Benar juga. Pantas saja Kun selalu menolaknya.

Apa yang sudah dirinya lakukan selama ini? Merusak kepercayaan orang padanya yang semakin susah dipercaya? Konyol.

"Terus kenapa lu bilang besok mau lamar gue? Kenapa setuju?"

"Simpel. Semua orang ada waktu capek berjuang sama perasaan semu, dimana bisa aja cuma lo sendirian yang ngerasain? Toh gue sama aja kayak lo, egois."

Melanjutkan ucapannya, Kun merenung sembari mengaduk kopi susu miliknya. "Nerima ajakan lo nikah, mungkin bakal punya anak, bisa aja perasaan gue ke Yangyang hilang dikit demi dikit."

"Tapi khayalan gue selalu berandai-andai misal Yangyang nemenin gue sampai tua, itu bukti cukup buat membuktikan gue cuma mau sama Yangyang. Gimana, jadi nerima kemauan gue kan?"

Mulutnya tercekat, tidak bisa mencari alasan lagi untuk memaksa Kun menikah dengannya. Tapi setidaknya, ada solusi yang sangat membantu menghilangkan bebannya.

"Fine. Kalau bisa seminggu kurang udah ada ya, awas aja ga ada. Gue sampai rela ngelepas lu nih."

"Ya, ya. See you besok, Sae."

Setelahnya mereka berdua berpisah menyiapkan untuk membatalkan lamaran besok.

Saebom meninggalkan Kun lebih dulu sebelum air matanya jatuh.

Sakit hati memang tidak pernah terasa menyenangkan. Setidaknya, setelah ini Kun bisa lepas dari dirinya yang selalu mengganggu.

Melihat kedua insan dari jauh, ia tersenyum miris berpikir kenapa dirinya menyerah lebih cepat dari perempuan.

Pun, jika ia masih berjuang sekarang, sepertinya akan menambah beban Kun. Dan hal itu tidak bisa membuatnya tega menyakiti sahabatnya sendiri.

"Udah yang lihat? Masa masih mau sama cowok keras kepala gitu, kalau ada aku yang selalu sama kamu."

Ten terkekeh dan menatap Johnny tajam. "Kita udah pacaran setahun lebih asal kamu tahu,"

"Tapi kamu masih sayang dia tuh."

Pipi Johnny tercubit oleh Ten, gemas dengan kecemburuan pacarnya. "Untuk sekarang, dia cuma temen deket. Jadi sekarang kita harus lapor ke Yangyang misal cowoknya udah ga ada yang deketin, oke?"

"Aku rasa ga perlu, Ten."

"Kenapa?"

"Masalah mereka biar mereka yang urus. Kita urus kapan nikah aja gimana?"

"Ew, aku masih pengen dalam status pacaran."

"Kapan siapnya?"

"Kalau kamu lamar aku di depan orangtuaku,"

Tersenyum sumringah, Johnny mengeluarkan handphone miliknya dan segera menelepon orangtua Ten, meminta mereka bersiap untuk melihat anak mereka dilamar.

Dan Ten hanya tertawa melihat tingkah Johnny yang selalu berhasil membuatnya bahagia, melupakan kebodohannya mengambil apa yang menjadi takdir teman dekatnya.

Cinta sepihaknya berakhir, berganti cinta berkontrak selamanya.

Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang