[II] : 17

101 15 0
                                    


"Kun, lo mau nikah sama gua ga? Jangan salah paham, sebenernya gua juga ga mau, tapi ortu selalu maksa kapan gua nikah. Dan lo paham kan, gimana orang-orang mandang hubungan lo sama Yangyang dulu? Kenapa ga kita tutup aja?"

"Ayo pulang."

"Kun, mau ga? Jawab dulu,"

"Gue mau pulang, ikut?"

"Ikut, tapi—"

Belum sempat Saebom meraih tangan Kun untuk menerima jawaban yang sangat ia tunggu, Kun sudah membunyikan mobil miliknya dan berjalan cukup cepat.

"Kun lo kenapa?" tanya Saebom saat laki-laki itu membuka pintu mobil, tanpa melihat Saebom sama sekali.

"Menurut lo?"

"Ga tau!"

"Lo kira gue suka sama lo? Jangan harap. Masuk, kita langsung pulang, lo gue turunin di halte deket apart lo."

"Terus kenapa lo baik banget sama gua? Kenapa selalu pastiin gua baik-baik aja, nganterin sampe depan kamar gua, bikin gua nyaman sama lo? Karena lo kayak gitu, gua jadi berharap sama lo."

"Masuk, sekarang."

Saebom berdecih. Padahal dirinya mengharapkan jawaban yang lebih bagus dari perintah mutlak Kun.

Mungkin hari ini bukan hari keberuntungannya.

Mobil yang Kun kendarai meninggalkan tempat mereka berdua bersantai, meskipun belum sampai satu jam sampai. Perasaannya benar-benar kacau mendengar ucapan Saebom.

Setiap Saebom akan mengatakan sesuatu, Kun pasti mengeraskan suara radio dalam mobil, membuat batasan dan gertakan jika Kun tidak ingin diajak bicara sekarang.

"Jangan suka sama gue, Sae."

"Terlanjur."

"Lupain,"

"Nggak."

Kun menghela napas keras, ia ingin cepat-cepat sampai di dekat apartemen Saebom, agar mereka bisa berpisah lebih cepat.

"Kita temenan aja, jangan paksa gue buat nikah sama lo—meskipun lo bisa aja ngajuin nikah kontrak atau apapun. Gue harap, jangan."

"Kenapa? Lo se-ga mau itu nikah sama gua?"

"Iya. Dari awal, gue cuma anggep lo temen. Jadi gue minta tolong, move on dari gue."

"Gua udah bilang ke Mama lo, katanya beliau setuju-setuju aja. Umur lo udah seperempat abad juga,"

Dengan refleks demi menjauhi kendaraan yang sangat dekat dengan mobil milik Kun, laki-laki itu terpaksa rem mendadak. "Lo... udah bilang ke Mama? Kapan?"

"Pas lo ga bolehin gua ngomong. Oh ya, Mama lo siap kapan pun tanggalnya, dia restuin kita berdua."

"Gue yang ga mau sama lo, Sae."

"Gua tanya, kenapa?"

"Penting buat lo?"

"Penting! Kan bentar lagi kita mau tunangan," ucap perempuan itu dengan senyum lebar yang ditampilkan, semakin membuat Kun tidak sabar ingin menjauh dari Saebom.

"Gue masih pengen sama Yangyang. Apa pernah selama setahun ini gue nyerah merjuangin perasaan ke dia, padahal kita ga ketemu dua tahun? Jadi jangan suka sama gue, kita nggak sama."

"Bisa aja dia udah punya pacar di negara sana? Ayolah Kun, gua mohon,"

"No is no. Jangan maksa, please?"

Saebom masih ingin memaksa. Dia akan berusaha sangat keras demi merubah perasaan Kun padanya, maka dirinya bisa bahagia melakukan pernikahan dengan orang yang ia sukai.

Saat mereka berdua benar-benar berhenti di depan halte dekat apartemen Saebom, Kun membukakan pintu untuk teman perempuannya tanpa melihat perempuan itu sama sekali. Mood Kun buruk sekali sekarang.

"Kun, gua bakal berusaha bikin lo mau nikah sama gua."

Berdecak, Kun menatap teman perempuannya yang menyebalkan, dengan tatapan paling kesal. "Coba aja. Gue bakal tolak lo sebanyak yang lo mau, bahkan pas lo nggak bilang apa-apa sama gue."

"Misal Mama lo setuju?"

"Gue bilang kalau anaknya yang ga setuju. Emang orang tua lo setuju?"

"Mereka udah berharap gua nikah sama lo sejak gua kenal sama lo. Keren kan,"

Sepertinya tidak ada perbedaan jika Kun mengucapkan hal yang sama hari ini. Saebom masih bersikeras pada keinginan egoisnya, dan Kun berharap pada hal mustahil.

Karena keinginannya hanyalah demi memperbaiki kesalahannya, dan berjuang untuk Yangyang lebih baik dari sebelumnya.

Tapi jika hal itu sudah tidak bisa ia lakukan lagi, Kun bisa saja kehilangan harapan hidup.

Sejak dulu, harapan ia pikirkan setiap pagi, adalah membahagiakan Yangyang, apapun caranya.

Apakah permintaannya tidak bisa dikabulkan sekali saja?

Meninggalkan Saebom yang masih melihatnya penuh keegoisan, Kun memasuki mobil kesayangannya dan menjauhi apartemen yang kedepannya tidak akan ia datangi lagi.

"Halo, Mama?"

"Ya, Kun. Ada apa?"

"Mama beneran dikirimin pesan sama Sae tadi?"

"Oh, iya. Mama setuju aja kalau kamu setuju. Lagian Yangyang belum kesini sejak setahun lalu—eh."

"Setahun? Bukan dua tahun?"

Terdengar hembusan napas panjang dari mamanya, bersama dengan Kun yang berhenti di lampu merah. "Mama mau jujur aja, Kun. Yangyang balik ke sini, pas kamu sumpah dokter,"

"Kenapa Mama ga bilang ke Kun kalau dia dateng..."

"Karena dia sendiri yang pengen bilang kalau pengen kasih kejutan ke kamu. Tapi waktu denger Yangyang justru berangkat pisah buat liat kamu sumpah dokter, Mama pikir ada yang ga beres. Dan beneran kamu ga tau kalau dia balik."

Kun terdiam, teringat pertanyaan tiba-tiba Ten yang bertanya tentang dirinya menggendong sahabat sendiri, padahal Kun hanya sebatas khawatir sebagai sahabat.

"Yangyang udah ga mau ketemu sama Kun ya, Ma?"

"Mama yakin dia pengen banget ketemu sama kamu. Mama lihat sendiri matanya yang masih excited setiap dia sebut kamu. Kamu mau nunggu lagi, atau nyerah? Keputusanmu keputusan Mama juga,"

"Aku pikir dulu, masih kaget. Makasih Ma, habis ini aku sampe rumah."

Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang