[I] : 13

114 15 1
                                    


"Tiba-tiba gue kepikiran pas mau dioperasi dulu."

"Yang lu ga pengen pisah sama Kun?"

Yangyang mengangguk, menatap jalanan dengan ekspresi sedih. Lagi-lagi ia harus meninggalkan kota ribuan kenangan kesukaannya, hanya untuk menuruti perkataan ayahnya yang bahkan tidak sepenuhnya mengerti perasaannya.

Bahkan saat mobil milik Hendery yang sedang dipinjam oleh Xiaojun sudah berhenti di parkiran bandara, Yangyang masih tidak memperlihatkan ekspresi bersemangat.

Memang sedih, tapi jika hanya menunjukkan ekspresi sedih, Xiaojun juga bisa menahan teman dekatnya agar tidak pergi ke Jerman beberapa saat lagi.

"Yangyang, senyum."

"Kenapa harus?"

"Senyum aja dulu elah,"

"Pengen gue nangis ya lo?"

"Oh," Xiaojun tersenyum miring menyadari alasan mengapa Yangyang tidak mau senyum. "Takut kangen gua sama Lucas ya? Kangen Kun sialan itu, kangen Jaehyun si kating, kangen semuanya. Kan?"

Yangyang tidak menjawab pertanyaan retoris dari teman dekatnya, berjalan menuju tempat pengecekan tiket sebelum pesawat datang.

"EH."

"Apa—Jun... Gue bakal tetep balik ke sini kalau udah berani ngomong ke ayah, main sama lo lagi. Ini kenapa jadi lo yang nangis sih?"

Tertawa kecil, Yangyang menepuk punggung Xiaojun yang sedang memeluknya erat, sama-sama tidak ingin berpisah lagi. Memang masih ada satu jam lagi, tapi sepertinya Yangyang tidak berlama-lama.

"Xiaojun,"

Xiaojun menghapus air matanya, menatap Yangyang. Walaupun tidak mengatakan satu patah kata pun, Yangyang tahu jika teman dekatnya sedang mencoba mendengarkan.

"Lo tau gue sayang lo dan kota ini kan?" Xiaojun membalasnya dengan mengangguk. "Kalau ada sesuatu yang gue sayang sampai gue ga rela jauh dari hal itu, gue pasti berusaha buat balik ngerasain nostalgia tentang hal yang gue sayang."

"Gue sayang sama lo, karena lo temen gue semenjak SMP, semenjak gue nggak berhenti cerita tentang Kak Kun sampai kita berdua pacaran, lo masih jadi temen gue bareng Lucas. Pasti gue bakal balik ke sini lagi, main sama lo lagi, main sama temen-temen yang lain di sini juga."

"Di bandara?"

"Jangan ngerusak omongan gue."

Mencoba sebisa mungkin untuk berhenti menangis, Xiaojun mengangguk kembali, dia akan menahan rasa rindunya hingga Yangyang mengatakan akan kembali menginap di apartemennya.

Mereka berdua tersenyum satu sama lain. Hari ini bukan yang terakhir mereka akan bertemu, namun hanya kisah tambahan untuk kisah-kisah harian mereka hingga puluhan tahun ke depan.



Menghembuskan napas lega, akhirnya barang yang dia cari bisa ia temukan di bandara. Jika saja keinginannya bisa diganti, pasti sekarang Kun tidak akan bersusah payah membeli di minimarket bandara.

Beruntung hari ini Kun mengambil hari libur. Dimana tidak ada telepon mendadak dari ibu-ibu iseng karena hanya ingin mendengar suaranya, atau memperingatkan perempuan tidak mengambil fotonya sembarangan.

Berjuang untuk suatu kemungkinan yang kecil, rasanya sangat menggembirakan.

Tidak berhenti-hentinya Kun tersenyum bangga melihat belanjaannya yang berhasil dia cari setelah dua jam berkeliling banyak minimarket diluar bandara.

Yang mana saat ia berjalan senang dengan kantung plastik berbunyi berisik, Kun mencium parfum yang sama seperti di cafe kemarin.

"Yangyang? Ah ga mungkin lah, yakali dia balik ke sini."

Itu mungkin. Sebagai bukti, Yangyang buru-buru menutupi bajunya menggunakan jaket tipis miliknya dari Kun yang masih bingung parfum siapa yang sudah mengganggu euforia laki-laki itu.

"Kalau gue ga salah, kayaknya gue ga sempet anter dia ke bandara ini tahun lalu."

Yangyang mengangguk tanpa suara. Laki-laki itu memutuskan mengikuti kemana Kun pergi, walaupun sedikit jauh. Lagipula pesawat ditunda, tidak menyenangkan jika duduk lama di Boarding Room.

"Kangen. Dia lagi ngapain ya?"

Yah, orang yang dimaksud sebenarnya sedang mengikutinya dengan wajah jahil seperti dulu.

"Emang bego sih gue, ga ngirim dia pesan sama sekali semenjak ditolak ayahnya lanjutin pacaran. Bego banget lo Kun, mana masih seneng-seneng lagi."

Yangyang kembali mengangguk, membenarkan kesalahan Kun karena tidak berani pada keputusan mereka tidak bisa melanjutkan hubungan.

"Oh iya juga, kan Yangyang deket sama Xiaojun. Kenapa ga gue tanya dia, dimana Yangyang sekarang, gitu?"

Di belakangmu, Kun.

"Tapi kalau gue malah ngerasa bersalah lagi, emang gue bisa ngobrol sama Yangyang? Gue pikir sih nggak. Haha, nyerah aja apa ya,"

Pintu keluar bandara semakin terlihat, menyadarkan Yangyang jika kejahilannya terpaksa harus berhenti.

Meskipun langkah Yangyang sudah tidak mengikuti, harapan mereka akan kembali bersama pasti akan sampai pada Kun, laki-laki yang dia sayangi.

"Gue harus bertahan, demi bisa pacaran sama Yangyang lagi."

Itu adalah kata-kata terakhir yang bisa Yangyang dengar sebelum mendapat pemberitahuan pesawatnya sudah sampai di bandara.

Tapi tidak masalah, lagipula setelah melihat wajah tampan Kun dan berbagai ekspresi yang dilihat oleh matanya, Yangyang merasa bersemangat.

Menerima tiket fisik, melakukan pemeriksaan barang bawaannya, memasukkan kopernya ke bagasi pesawat, Yangyang melakukannya dengan senyum yang susah luntur.

Bahagianya Kun, bahagianya Yangyang juga.

Dia pastikan, saat ia kembali lagi ke negara tempatnya lahir nanti, ia akan mengatakan pada Kun bagaimana pun caranya.

Yangyang pulang, membawa ribuan cerita untuk menjadi camilan penghabis waktu disaat berhasil mengambil kesempatan mereka duduk di balkon kamar, menikmati sore.

Ia akan melakukannya, dimana dirinya sudah berkembang menjadi laki-laki yang berani mengatakan kemauannya di depan orang tuanya.

Kun, Yangyang sangat berharap kau akan mengapresiasi usahanya ketika bertemu empat mata nanti.

Dan dengan ini, tersisa satu chapter lagi untuk Part I dari season 2.


———

hehe <3

bentar lagi ceritanya balik fluff guys, don't worry!

with proper character development, I'll finish this story with beautiful ending.

is it sad or happy ending, just wait with smile on your face.

see you!

Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang