[II] : 19

104 15 0
                                    


"Ma, I don't want this. Berhenti paksa demi menghindari omongan tetangga atau apapun."

"Jangan bikin Mama jadi orang jahat, Kun. Lihat ke kamu sendiri, umurmu udah matang, udah waktunya nikah, kenapa ga nurutin temanmu?"

"Karena aku masih nunggu Yangyang. Cuma dia yang aku pengen nikahin, Ma, jadi berhenti paksa Kun nikah sama cewek itu."

"Emang kamu udah tahu kenapa dia selalu maksa kamu? Udah denger cerita dia tentang mantan calon suaminya? Nggak kan?"

Perdebatan yang tidak ada habisnya itu akhirnya berhenti pada pertanyaan retoris. Kun heran bagaimana mama yang ia sayangi ini menjadi memojokkannya sekarang.

"Obrolin ini sama Sae. Kalau habis dengerin cerita dia kamu masih pengen sama Yangyang, Mama ga akan maksa. Karena Mama lakuin ini buat kebaikanmu, Kun,"

Tapi sebagian besar niat baik mamanya terasa sangat membebani Kun, mendorong paksa dirinya menuruti apa yang dilakukan orang lain dimana Kun sendiri tidak seperti orang kebanyakan.

Makan malam yang seharusnya terasa damai, menjadi tidak terasa nyaman, membuat Kun ingin keluar rumah mengeluarkan penat di kepalanya.

"Kun keluar dulu." Ucapnya singkat, membawa mobil hitam kesayangannya membelah jalanan malam.

Pikirannya secara tidak sadar membawa mobil hitam itu ke rumah sakit dimana Yangyang pernah dirawat. Karena tidak enak hanya diam di depan rumah sakit seperti orang bodoh, Kun menjauh, tanpa arah.

Mulutnya berdecak kesal mengetahui jalan yang ia lewati ternyata banyak kendaraan.

Setengah jam berada dalam macet panjang karena lalainya pengatur jalan, akhirnya Kun melihat kembali sebuah tempat penuh kenangan bahagia beberapa tahun yang lalu.

———

Membeli permen kapas dan ice cream kesukaan si manis, Kun hanya terdiam melihat bagaimana gemasnya Yangyang saat ini.

"...apa lihat-lihat? Mau?" tanya si manis bingung yang disertai muka merah matang, mendekatkan permen kapas pada Kun.

Kun menggeleng, lebih memilih melihat Yangyang. Ia merasa sangat beruntung, bisa memiliki si manis hingga setengah tahun.

Karena ingin merayakan enam bulan mereka berpacaran, Kun mengajak Yangyang ke taman terbesar di kota. Dan melebihi perkiraan laki-laki itu, Yangyang sangat senang dengan idenya.

"Kamu manis banget, sayang deh."

Panik tiba-tiba si manis kesayangannya tersedak, Kun memberikan air putih miliknya pada Yangyang.

"Ga bisa aba-aba dulu gitu?"

"Nggak. Kakak sayang kamu."

"Kak! Dilihat orang-orang ih! Udah, shhh!"

Kun terkekeh geli berhasil menggoda Yangyang.

"Bales ucapan kakak dong,"

"Buat?"

"Biar dilihat orang lagi."

"Ga. Ga perlu, aku mau pulang aja,"

Memegang kedua tangan Yangyang, Kun memasang wajah serius walaupun sebenarnya hanya ingin menjahili kesayangannya. "Bales dong~ Kakak nanti sedih loh,"

"... lepas... dulu.. aku malu."

Kun melepas tangan kesayangannya sedikit gugup, wajah Yangyang saat ini sangat teramat gemas. Tapi teringat sedang ingin menjahili Yangyang, Kun tersenyum miring. "Mana balasannya?"

".. sayang Kakak juga. Udah, kan? Aku mau pergi! Nyebelin!"

"Cepet banget yang ganti mood. Mau jalan-jalan lagi ga?"

Mengangkat kedua tangan ke arah Kun, Yangyang tersenyum lebar memberi kode ingin digendong.

Di perayaan 6 bulan hubungan mereka, Kun masih belum mengetahui mengapa Yangyang sedikit susah diajak jalan-jalan.

———

Membeli permen kapas dan ice cream, Kun berusaha menikmati keduanya mengingat betapa hangatnya suasana saat itu.

Hanya saja, Yangyang tidak ada.

Jika dipikir kembali, ini sudah tiga tahun dirinya tidak mengetahui kabar Yangyang atau bahkan foto bagaimana si manis sekarang.

Dan menolak permintaan mamanya hanya untuk bertahan pada rasa yang semu, terlihat menyedihkan sekali.

Dadanya terasa sakit sekarang. Benar, tiga tahun tidak saling berbicara atau bertukar tawa, rasanya aneh masih bertahan selama itu.

Selesai duduk di kursi pesawat, Yangyang terdiam tidak mengatakan apapun. Ia ingin menangis tapi air matanya menolak untuk keluar sedikitpun.

Dan hal itu disadari oleh ayahnya.

Ayah Yangyang menepuk bahu anak satu-satunya, memberikan semangat entah apakah akan membantu.

"Ayah, can I ask many things? Alasan selama ini Ayah bikin aku jauh sama Kak Kun, dan banyak hal lain, boleh?"

"You can."

"Selama tiga tahun—yang aku yakin Ayah kerjain semua sendiri—kenapa pisahin aku sama Kak Kun kalau kita berdua belum nyoba hubungan jarak jauh?"

"Ayah takut kamu sakit hati. Banyak orang tua, khawatir sama anaknya. Dalam kasus Ayah sendiri, dimana kamu baru pertama kali deket dan pacaran sama orang lain, takut kalau kamu lebih banyak sakit hati daripada seneng."

Melanjutkan ucapannya, ayah Yangyang mengelus kepala anaknya pelan. "Setiap kamu sama teman kuliahmu, Ayah tahu kamu pasti ga terlalu nyaman semisal harus selalu ngasih kabar ke pacarmu. Kamu bisa bilang Ayah kebanyakan mikir, tapi maaf, ini cara Ayah demi ngejaga kamu. Yangyang, kamu masih suka Kun?"

"Masih. Yangyang boleh tanya lagi?" tanya Yangyang kembali, yang mendapat anggukan ayahnya.

"..kenapa Ayah larang Yangyang ngelakuin apapun, sampai kunci Yangyang tega?"

"Buat ngelindungin kamu dari cowok bahaya atau cewek bahaya, Ayah pernah beberapa kali hampir dijebak jahat jadi Ayah berpikir harus jaga anak Ayah, meskipun harus maksa. Dan, mau bagaimanapun, Ayah tahu seberapa besar rasa sayang Kun ke kamu."

"Ayah minta maaf untuk tiga tahun ini, kamu bisa benci Ayah atau jauhin Ayah, karena Ayah pantes nerima itu–"

Yangyang memeluk ayahnya erat. "Yangyang sayang Ayah sama Bunda. Maaf juga karena bikin kalian khawatir, tapi Yangyang gapapa. Kalau bukan karena kalian, pasti kaki Yangyang udah gabisa dipake lagi. Makasih, Ayah."

Membalas pelukan anak kesayangannya, mereka berdua menikmati suasana haru berbalut sedih sebelum menghadapi masalah lain.

Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang