Part II.
*percakapan dalam bahasa Jerman aku italic okay.
"Seharusnya kamu nolak, bukan nerima dan ikut ke sini. Tau sendiri ayahku gimana dari ceritanya Haechan."
"Papaku baik, Yang. Mana bisa aku tolak permintaan dia?"
Menggaruk kepalanya menahan kesal di depan wajah tidak bersalah Ningning, Yangyang bertanya sedikit takut. "Haechan tau?"
"Sayangnya, nggak. Tapi kalau kamu cerita ke dia, dia ngerti kok! Coba dulu, please?"
"Ya, oke. Maaf tadi tiba-tiba tutup pintu, soalnya aku kaget kamu duduk di ruang keluarga, aku lagi muak di sini."
Ningning terkekeh, ia tahu bagaimana perasaan Yangyang sejak pertama datang ke Jerman hingga sekarang. Masih merindukan negara asal, tapi terpaksa menuntut ilmu di negara orang.
"Tadi lagi berantem sama Bundamu, ya? Aku denger suara teriakan dari kalian berdua, maaf."
"Gausah minta maaf. Ini salah ayahku, kamu ga salah apa-apa."
"Yakin gapapa kamu terima perjodohan ini? Aku bisa bilang jujur ke Haechan, walaupun pasti aku bakal sedih banget sih, kamu gimana?"
"Ga tau, Ning. Pengen banget aku seneng-seneng cerita, malah justru hampir dikurung lagi sama ayah."
Angin malam berhembus ke arah mereka berdua, teman dekat yang terpaksa dijodohkan dalam takdir yang tidak menyenangkan.
Meskipun Yangyang merasa ingin membanting apa pun yang terlihat di depan matanya, perempuan di sampingnya membuat dirinya terpaksa menahan amarah.
Ningning itu perempuan paling baik setelah Bundanya, menerima ketertarikan seksualnya dengan senang hati, dan sangat menghargai Yangyang sama seperti yang dilakukan Haechan.
"Oh, karena kita lagi di luar, kenapa ga sekalian kabur?"
Ningning yang sedang menikmati udara malam melihat rumah Yangyang sebentar, lalu mengangguk. "Ide bagus!"
Menunduk di semak-semak saat melihat sosok kedua laki-laki yang sangat akrab, keduanya tersenyum jahil begitu berhasil mencapai jalan raya yang sangat mudah mencari taksi.
Lagipula Yangyang sudah menyiapkan uangnya, dia selalu sedia dompet tipis berwarna hitam di saku celananya.
Tapi tempat yang mereka tuju, justru rumah Haechan. Yang seharusnya dijauhi demi kebaikan laki-laki itu.
"Kok malah ke rumahnya pacarku, Yangyang?? Ke mall gitu, atau toko buku??"
"Justru rumah Haechan paling pas. Kita langsung jujur."
"Kalau aku malah putus sama Haechan??? Ih, ga mau,"
"Iya ga bakal putus, tenang. Aku bantu,"
"Beneran ya? Janji!"
"Janji!"
Apartemen 10 lantai itu berdiri tegak menjulang, dengan warna merah dan hitam menyatu sempurna. Salah satu kamar apartemen terdapat kamar milik Haechan, yang lebih suka tinggal sendirian.
Lantai 6, nomor 656.
Saat mereka berdua sudah berdiri bersisian di depan pintu kamar apartemen Haechan, suasana takut begitu mencekik Yangyang.
"Oh! Tumben kalian ke sini bareng? Malem-malem lagi. Ada apa nih?"
Haechan sudah menyapa mereka berdua lebih dulu. Karena tidak ingin mengundang kesalahpahaman, Ningning berinisiatif mendorong pacarnya kembali masuk ke kamarnya.
Yah, walaupun memang mereka ingin mengatakan hal mengejutkan untuk Haechan.
"Jadi? Kok kalian bisa bareng sampai di apartemen gue?"
Sesekali melirik Ningning demi memberanikan mengatakan sesuatu yang penting, Yangyang mengajak Haechan untuk duduk santai di balkon, melihat jalan raya yang selalu ramai.
"Kenapa sampai pacar gue duduk sendirian di depan TV? Kalian berdua kenapa dah?" Ya, Haechan tidak sepenuhnya orang Jerman.
Pasalnya Haechan adalah teman SD dan SMP Yangyang, yang mana lumayan mengenal Xiaojun juga.
"Gini, gue mau minta maaf dulu sama lo. Gue minta maaf, kalau bakal bikin lo sakit hati sama ucapan gue nanti. Maafin dulu,"
"Iya gue maafin. Kenapa sih?"
"Gue dijodohin sama pacar lo, karena ayah gue dan papa dia yang mutusin. Jelas gue nolak banget, sama kayak Ningning. Pertama, lo pasti tau banget gimana perbedaan ayah gue semenjak gue pindah ke Jerman. Dan karena gue merasa ayah udah beda banget, beliau maksain kemauan dia yaitu nikahin kita berdua,"
"Yang kedua?"
"Kedua, lo boleh marah sama gue, tapi jangan sama pacar lo sendiri. Kalian udah pacaran tiga tahun, sedangkan gue baru temenan sama kalian setahun. Gue emang pengecut, ga berani, makanya ini bisa terjadi. Gue harap, setelah ini lo bisa bantu gue biar perjodohan ini dibatalin."
"Gue mau ngomong."
Mengajak Ningning untuk bergabung dengan Haechan di balkon, Yangyang menunggu Haechan mengatakan sesuatu yang pasti bisa merusak pertemanan mereka.
Dan hilang sudah semangatnya untuk hidup.
Selang beberapa menit, Haechan masih menghembuskan nafas berulangkali entah memikirkan apa. Semuanya terlalu tiba-tiba.
"Jujur, gue kaget." Ucap Haechan akhirnya, mewakilkan perasaan Yangyang saat di rumahnya sebelumnya.
"Kalian udah tau sejak lama, atau baru sekarang?"
Yangyang menatap Ningning, mempersilakan perempuan lebih dulu untuk menjawab pertanyaan Haechan. "Kalau aku, dari seminggu yang lalu. Maaf."
"Gue barusan dikasih tau, karena Ningning tiba-tiba udah di ruang keluarga sama Bunda,"
"Kamu langsung setuju, Ning?"
Lagipula perempuan itu tidak bisa menghindari lagi. Mau tidak mau Ningning mengangguk, dan membuka mulutnya mencoba menjelaskan. "Tapi bukan karena aku dijodohin sama Yangyang, itu karena aku berutang banyak sama Papa. Kamu tau gimana, kan?"
"Dan lo, Yangyang? Nerima gitu aja?"
"Nggak," Ekspresinya mengeras, mengatakan ide dari orangtuanya ditolak keras-keras. "Maka dari itu gue mau ngajak lo buat batalin perjodohan ini."
"Kenapa dibatalin?"
"Gue mau hidup diatas kaki gue sendiri, Chan. Ada kantor yang nawarin kerjaan ke gue setelah lulus kuliah, dan kantornya jauh dari rumah biar gue ada alasan menjauh. Dan cewek lo pengennya sama lo, harusnya gue jadi pendukung kalian berdua."
Negosiasi pendek itu disetujui. Dengan Yangyang memiliki keinginan kuat kabur dari rumah, dan Haechan yang masih ingin menjalin hubungan kekasih dengan Ningning.
"Gue bakal berusaha, bebasin diri gue sendiri dari Ayah, dan Ningning bebas dari perjodohan ga masuk akal ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Good Old Days - KunYang
Fanfiction[ Sequel Hands on Me ] "Good old days ya," "Ya." © crusshiepie , 2022