Today is just another day of calendar. Hari lain dimana Kun jahil kepada Ten, mengagetkan Ten saat masih tenang dalam tidurnya."Brengsek! Jam berapa sih sekarang?"
Kun terkikik geli, memperlihatkan jam dari handphone-nya. "Jam 7. Bangun, Ten!"
"Acaranya masih jam 10 please deh, jangan bikin gue emosi pagi-pagi." Gerutu Ten sembari memasang selimutnya kembali, mengabaikan Kun yang membuka bungkus sup jagung dengan uap mengepul banyak.
Apa yang dilakukan Kun berhasil membuat Ten gagal melawan sahabatnya sendiri.
"Mau,"
"Beli sendiri. Bukannya tadi lo mau balik tidur ya?"
"Ga jadi. Mau dong Kun,"
"Mandi dulu. Jam 8 gue mau sumpah dokter, jadi jangan lama-lama."
"Oh iya. Tungguin ya."
Kun mengambil dua mangkok berwarna abu-abu dari dapur, mengisi mangkok tersebut dengan sup jagung kesukaan dirinya dan Ten.
Ketika Ten selesai mandi, keduanya segera sarapan dan bersiap sebelum mereka akan kembali ke rumah Kun untuk menjemput mama Kun.
Hari ini adalah hari penting bagi Kun dan Ten.
"Mana kuncinya," Kun melempar kunci mobil miliknya pada Ten, yang ditangkap dengan baik.
Tanpa aba-aba, Ten merasa dirinya terangkat dengan posisi kakinya dan kepalanya hampir saja bersentuhan. Saat kepalanya mendongak, ia melihat Kun menatapnya entah apa artinya.
"Kaki lo sakit habis kepeleset di kolam renang kemarin kan? Jujur aja."
Itu tidak salah, sebenarnya Ten memang tidak mengatakan rasa sakit pada kakinya yang bisa terlihat jelas bagaimana dia berjalan. "Tapi kan gue masih bisa nyetir? Turunin ah, ga parah kali, santai,"
"Bohong."
"Lo ga bisa ya, ga lihat gue sedeket ini?"
"Hah?"
Ten menendang tangan kanan Kun agar dirinya bisa jatuh dari gendongan bridal style yang sebelumnya Kun lakukan padanya.
Walaupun Kun mengaduh keras yang bisa membuat Ten menjadi pelaku kekerasan, itu lebih baik daripada menimbulkan banyak anggapan berlawanan dari apa yang sebenarnya mereka miliki.
Mereka hanya sahabat, sampai kapan pun.
Mobil Lamborghini berwarna hitam itu meninggalkan halaman luas rumah Ten, menuju rumah Kun sebelum jam menunjukkan pukul 8 pagi.
Setiap kali Kun ingin bertanya apa ada yang salah dengan sahabatnya, wajah Ten terlihat tanpa ekspresi, yang tandanya perasaan Ten saat ini sedang berkecamuk tidak bisa diungkapkan.
Apa Kun melakukan hal yang salah?
Bahkan saat sampai di rumah Kun, bertambah satu orang yang memasang wajah tanpa ekspresi. Iya, mamanya.
"Ada sesuatu, Ma?" Tanya Kun bingung. Kenapa orang-orang pagi ini sudah tanpa ekspresi saja?
"Nggak. Ten, langsung jalan aja, biar cepet sampe."
Ten mengangguk sekilas, kembali menyalakan mobil milik Kun tanpa mengatakan apapun.
"Ten, gue ada salah?" Kun menatap Ten sedikit takut saat sahabatnya itu menoleh sedikit padanya, mengangkat bahu tidak ingin menjawab.
"Gara-gara kita keseringan main? Gue ga bantu lo bersihin sampah? Apa?"
"Kita udah sampai, Kun. Lo mau sumpah dokter sekarang."
"Tapi—"
Lengan kiri Kun terisi tangan mungil yang sangat Kun kenal, tangan mamanya. "Kita masuk sekarang, acara kamu mau dimulai,"
Mungkin bukan sekarang. "Iya, Ma." Jawabnya lesu, meninggalkan Ten yang kembali masuk ke mobil Kun, memijit kepalanya dengan beberapa kali memukul dahinya sembari berkata jelek pada dirinya sendiri.
"Ma, kalau Yangyang ada di sini, kayaknya aku bakal bahagia banget."
"Dia emang udah di sini."
"Gimana?"
Mamanya menoleh padanya, ikut bingung. "Emang Mama bilang apa tadi?"
"...Yangyang udah di sini...?"
"Mama ngarang. Sana, duduk di tempatmu," Mama Kun membenarkan beberapa bagian baju Kun yang sedikit berantakan, tersenyum manis melihat anaknya. "Ganteng banget, anak siapa kamu, hm?"
Sebaiknya dilupakan saja, itu tidak mungkin terjadi, pikir Kun saat mamanya sudah membahas hal yang berbeda. "Anak Mama sama almarhum Papa."
"Pinter. Semangat! Mama banggaaa banget sama kamu, Kun. Makasih udah berjuang 3 tahun sama koas 2 tahun, ngenalin Yangyang si imut kesayangan Mama, dan selalu temenan sama Ten. Kedepan, Mama mungkin ga bisa bantu banyak, tapi doa Mama selalu yang terbaik buat kesuksesan kamu."
"Ma, acaranya belum mulai, jangan bikin aku nangis duluan."
"Yah...haduh, gimana dong, Mama udah nangis,"
Kun terkekeh, menghilangkan genangan air mata di sudut mata perempuan yang ia cintai, memeluknya penuh kasih sayang.
"Makasih juga udah selalu ada buat Kun, doain Kun sampai bisa lulus cumlaude, koas yang banyak lancarnya, dan jadi perempuan terbaik yang Kun kenal. Mama ga akan tergantikan, jadi jangan banyak nangis, ya?"
Suara mic berbunyi, memanggil para peserta calon dokter untuk duduk di tempat masing-masing. Kun memeluk mamanya sekali lagi, dan berjalan di tempat duduknya dengan wajah lesu.
Hatinya sebagian kosong, tidak ada kekasih yang bisa ia beri kata terimakasih, bisa ia peluk erat, ia cium semua sisi wajahnya, semua itu tidak ada.
Jika diperbolehkan, apa ia harus mencari yang baru?
Dia merasa tidak pantas setiap kali teringat bagaimana lemahnya ia berada di hadapan ayah Yangyang, meminta hubungan mereka tidak berakhir begitu saja.
Acara yang berlangsung hampir dua jam itu akhirnya selesai, bergantian dengan giliran Ten untuk peresmian dirinya menjadi manajer salah satu divisi kantor yang ia tempati.
Kehidupan dewasa, tidak pernah terduga, tapi selalu menguras banyak tenaga jika tidak mempersiapkan diri.
"Seems like he's having fun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Old Days - KunYang
Fanfiction[ Sequel Hands on Me ] "Good old days ya," "Ya." © crusshiepie , 2022