Tidak ada hidup bahagia dalam hidup Yangyang pasca putus dengan Kun.Sudah berjalan satu tahun, tapi keberanian Yangyang masih lemah ketika berhadapan langsung dengan ayahnya sendiri.
Walaupun sedikit berhasil membujuk bundanya agar tidak terlalu setuju pada kepala keluarga, Yangyang tetaplah pengecut.
Tidak mencari cara untuk kabur dari kamarnya sendiri, merindukan mantan pacarnya tanpa mengirim pesan apapun, Yangyang sangat pengecut dan pecundang.
Kakinya bergetar, saat ini ia sedang berdiri di depan ayahnya yang pastinya marah.
Meskipun sikap ayahnya sedikit melunak karena sudah tenang menjodohkan dirinya dengan teman satu kelas di kampus, tetap saja kekerasan ayahnya membuatnya semakin takut.
Apa ini yang dirasakan Kun ketika memperjuangkan dirinya dua tahun yang lalu?
Rasanya seperti nafasnya tersisa beberapa detik lagi akan menghilang, tergantikan raga tanpa jiwa.
"Apa alasan kamu nolak perjodohan yang udah Ayah perjuangin buat kamu?"
Pembahasan yang berputar sejak setahun yang lalu, dengan perasaan takut yang sama, Yangyang meremas jarinya panik.
"Yangyang cuma pengen Ayah hargai ketertarikan Yangyang tentang percintaan, tanpa perlu Ayah campur tangan dengan dijodohin. Ningning udah punya pacar sejak mereka muda Yah,"
"Kenapa kalau mereka pacaran? Nikahnya sama kamu juga."
Di sepasang mata yang menatapnya tajam, Yangyang seperti sedang di rantai dalam sebuah penjara kecil berbentuk persegi, tidak memiliki pandangan lain selain sepasang mata menakutkan di depannya.
Dan terpaksa lari mengitari topik yang sama, tanpa berani mencari jalan alternatif lain agar bisa kabur dalam suasana menakutkan ini.
"Jawab Ayah, Yangyang!"
Bentakan ketidaksabaran. Menolak kejujuran, memaksakan keinginan.
"Yangyang ga mau nikah sama Ningning! Yangyang pengennya sama Kak Kun, Yah."
"Kun mau sama kamu? Udah pernah nanya?"
Belum. Sudah terlambat, sudah dua tahun lamanya.
"Tapi, Yah—"
"Kamu tuh keras kepala ya, dikasih solusi yang bagus buat masa depanmu kenapa kamu tolak terus? Apa bagusnya si Kun?"
Mencoba memutar kembali kenangan indah bersama mantan pacarnya, Yangyang kehabisan kata-kata. Karena semua kelebihan Kun, sudah pernah ia katakan berbulan-bulan lamanya.
Tapi Ayahnya masih pada pertanyaan yang sama, menolak jawaban dari anaknya.
"Ayah, Ayah lupa sama alasan Yangyang setahun ini yang pernah Yangyang bilang? Apa perlu Yangyang ulang ratusan kali?"
"Ga penting inget semua itu, masa lalu kenapa kamu ungkit terus, lagian ga pasti si Kun itu mau sama kamu lagi."
Apakah Ayahnya memerlukan bukti daripada ucapan? Baiklah.
"Kalau gitu, Yangyang bakal selesaiin kuliah dalam 6 bulan, terus Ayah ikut Yangyang balik ke negara tempat kita tinggal dulu. Yangyang buktiin kalau Kak Kun masih mau sama Yangyang."
Tersenyum miring, Ayahnya mengendurkan tatapan tajamnya. "Tawaran bagus. Misal si Kun kebanggaanmu nanti ternyata udah punya pasangan, kamu harus nerima perjodohan ini."
"Eh?"
"Kenapa?"
"Tunggu, Ayah setuju?"
Ayahnya mengangguk, masih dengan senyuman miring yang setia diperlihatkan.
— — —
Memasang ekspresi kesal, Saebom mau tidak mau harus mencari seseorang yang bisa menyelamatkannya dari dorongan paksa orang tuanya untuk menikah.
Dua tahun menikmati kesendirian dan menyukai bagaimana sensasi mengejar orang yang ia suka, membuatnya tidak menginginkan hubungan jenjang pernikahan.
Mantan calon suaminya saja sudah bahagia dengan selingkuhannya. Mengingat hal itu semakin memperkuat penolakannya menyelenggarakan pernikahan.
Setelah memastikan janji yang ia ucapkan akan dilakukan oleh laki-laki yang Saebom sukai, perempuan itu menggerutu setiap make up-nya terdapat kesalahan.
Yang mana orang itu pasti sudah-bisa-ditebak-siapa.
Menerima panggilan dari orang yang sudah Saebom tunggu-tunggu, ia mengambil tas berwarna putih kecil dan keluar apartemen dengan senyuman lebarnya.
Jika rencananya berhasil, perjuangannya dalam satu tahun mendekati laki-laki yang sering ia pikirkan sebelum tidur, mungkin bisa berjalan lancar.
"Hai. Baju lo lumayan juga,"
Kun, yang memakai kemeja berwarna abu-abu dan celana hitam, terkekeh mendengar pujian Saebom. "Pake sabuk, gue ada saran bagus kalau mau ngobrol santai."
"Serius? Dimana tuh?"
"Di atas bukit. Ada trauma sama jalannya ga?"
Sebenarnya iya, tapi apa sih yang tidak untuk Kun?
"Nggak, santai. Ten ikut?"
"Pacaran sama Johnny katanya. Emang gitu kalau udah punya pacar, gue selalu dilupain."
Anehnya, Kun masih mengajak Saebom mengobrol tanpa merasakan apapun. Yang sebelumnya mereka sering jalan-jalan bertiga, kini hanya ada mereka berdua.
"Kun,"
"Ya?"
"Lo ngerasa aneh tentang sesuatu
gitu ga?"Terdiam sebentar, Kun mengangguk kecil. "Tadi sempet merinding bentar, kenapa emang?"
"Tentang perjalanan ini? Ga ngerasa aneh?"
"Hahaha, aneh apa Sae, biasa aja kali. Lagian ini jalannya emang naik terus, percaya aja sama gue tentang nyetir."
"Itu gua emang percaya, tapi maksud gua bukan itu,"
"Iya? Kalau bukan tentang jalan, tentang apa dong?"
"Nanti aja pas udah sampe, ngobrol disini bisa-bisa kita kecelakaan."
Obrolan berakhir, menyisakan suasana canggung dari Saebom dan ekspresi bingung dari Kun.
Perjalanan yang seharusnya dilalui dengan tawa dan perasaan bahagia, berubah menjadi udara dingin begitu Kun mendengar ucapan Saebom padanya.
Karena setelah mereka mengambil foto menikmati pemandangan dari atas bukit dan hiburan melewati jalan menanjak berbelok, Saebom tiba-tiba mengatakan kata-kata yang tidak ingin Kun dengar.
Menikmati minuman hangat dalam angin kencang karena mendekati musim dingin, Saebom menghentikan obrolan santai diantara mereka berdua, dan merusak kebahagiaan Kun.
"Kun, lo mau nikah sama gua ga?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Good Old Days - KunYang
Fanfiction[ Sequel Hands on Me ] "Good old days ya," "Ya." © crusshiepie , 2022