26

149 10 0
                                    


Flashback.

Tujuh bulan, bukan, hampir tujuh bulan. Bergandengan tangan, saling tersenyum, dan tertawa ketika salah satu dari mereka mengeluarkan candaan.

Hari yang mereka habiskan tidak pernah terasa membosankan, dan justru membekas di ingatan masing-masing.

Hanya saja, tepat sehari sebelum merayakan tujuh bulan mereka bersama, Yangyang tidak bisa dihubungi. Dan di hari itu, Kun masih belum mengetahui keadaan Yangyang, laki-laki itu menutupinya dengan sangat baik selama setengah tahun lebih.

Dari waktu mereka berjanji akan jalan-jalan ke kebun binatang bersama, hingga petang menjelang, Yangyang masih belum mengirim pesan atau bahkan menelepon Kun.

Panik, baru pertama kali Kun tidak mendapat kabar Yangyang sama sekali. Meskipun sudah bertanya pada Xiaojun, pertanyaannya malah kembali padanya, mengapa tidak tahu dimana Yangyang berada.

Kun yang memutuskan menepikan mobil tepat di samping rumah Yangyang, menunggu kesayangannya datang memberikan kabar padanya.

Dia juga berulangkali menelepon meskipun berujung tidak tersambung dan operator memintanya menelepon kembali.

"Kak?"

Bagaikan jiwanya sudah kembali hidup, dilihatnya Yangyang dengan senyum lebar—namun tidak lama. Laki-laki yang sudah lama ia tunggu, sedang terduduk di kursi roda yang dibantu oleh bundanya.

"Kamu kenapa? Sakit? Mananya?"

Yangyang berkata pelan pada bundanya untuk masuk ke rumah, sementara dirinya akan berbicara dengan Kun membahas apa yang selama ini Yangyang sembunyikan.

"Kakiku."

"Sakit apa?"

Hari itu, Kun merasa tidak berguna karena tidak sadar sejak awal jika Yangyang memiliki masalah, namun semuanya sudah terlambat.

Mendengarkan si manisnya menceritakan mengapa bisa terjadi, dan alasan menutupi keluhan itu setengah tahun lebih, Kun hanya bisa berjuang untuk lebih mengerti apa yang telah Yangyang sembunyikan darinya.

Yangyang tidak ingin merusak kesenangan Kun, saat mereka menghabiskan waktu berdua, bercanda tawa, atau menonton film bersama. Karena mau bagaimana pun, Yangyang sangat mencintai Kun, pacarnya.

Kun bertekad memperbaiki kepekaannya agar Yangyang tidak perlu menyembunyikan apapun, dan tidak ada kebohongan putih jika mengetahui kebenarannya lumayan menyakiti keduanya.

Mereka saling mencintai, menghargai, dan menyayangi. Dan hal seperti itu hanya bisa terjadi sekali dalam hidup, untuk waktu yang sangat lama.

"Kakak pamit Bunda dulu, kamu di sini aja."

"Mau kemana?"

"Mana aja, asal bisa bahagia sama kamu."

Apapun hal tidak terduga yang terjadi, bukanlah alasan berkurangnya rasa cinta pasangan satu ini.

Malam menuju bergantinya hari menjadi tepat ke-tujuh bulan sebagai kekasih, mereka berdua berkeliling kota mengobrol tentang banyak hal, menyanyikan lagu yang diputar, serta membeli jajanan di pinggir jalan.

Jika Yangyang bahagia, maka Kun akan bahagia juga. Sebuah perasaan sederhana, yang menjadi alasan hidup menjadi berwarna.

— — —

"Will you marry me?"

Bagai disambar petir yang dahsyat, Yangyang mematung mengetahui Kun sudah bersimpuh di depannya, memperlihatkan cincin yang siap dipakai.

"Uh... yes."

Dan sekarang Kun yang mendapatkan petirnya. "Beneran...?"

"Harusnya aku yang tanya gitu... kakak beneran lamar aku?"

"Beneran. Kakak udah niatin bakal seriusin kamu sejak kita ketemu lagi. Kakak ga mau kehilangan kamu, kangenin kamu dari jauh, jadi kakak putuskan buat ke jenjang yang lebih serius."

Mengernyitkan dahi, Yangyang meminta Kun untuk jujur karena mengetahui Kun tidak pernah memiliki komitmen seperti itu.

Dan Kun menyadari jika kebohongannya tidak berlaku ke Yangyang. "Oke, baru semingguan ini. Tapi kakak udah bahas ini sama Mama, tinggal ke kamu dan keluargamu."

"Orangtuaku lagi di luar negeri...?"

Kun membalas pertanyaan tidak yakin si manis yang terlihat menawan hari ini dengan senyuman iseng, rencananya bukan sekedar mempersiapkan cincin saja.

Mendekatkan telepon ke telinganya, Kun menunggu telepon tersambung sebentar kemudian mematikannya.

Demi kebahagiaan Yangyang, ia akan menghilangkan setiap penyebab sedih.

Demi Yangyang, ia rela melakukan apa pun.

"Yangyang,"

Yang dipanggil menoleh, terkejut untuk kedua kalinya. Kedua orangtuanya sekarang berada dekat dengannya, tanpa merasakan aura menakutkan dibanding saat di Jerman sebelumnya.

Ini orangtua yang ia kenal, yang ia sayang pertama kali semenjak lahir di dunia, rumah yang membuatnya nyaman jika merasa lelah.

Bunda Yangyang berlari memeluk anaknya erat. Rasa rindu dan bersalah membersamainya ketika dirasa terdapat perasaan bahagia yang membuncah dari anaknya.

Tidak rela hanya dua malaikat yang saling memeluk, ayah Yangyang ikut berpelukan dan menyempatkan diri mencium dahi Yangyang penuh sayang.

"Untuk yang lalu, Bunda sama Ayah minta maaf sebesar-besarnya ke kamu, karena kita sadar kita salah." Menghembuskan napas berhasil mengucapkan perasaan mereka, ayah Yangyang melanjutkan, "sebagai permintaan maaf, Ayah membebaskan kamu mau di sini atau ke Jerman,"

"Tapi, aku udah ditawarin kerja di Jerman, masa dilepas gitu aja?"

"Kalau kamu ga rela, silakan diskusi sama calon suamimu." Balas ayahnya santai.

Mengulum bibirnya malu, Yangyang melihat Kun yang menatapnya penuh rasa sayang. Dia masih malu mengakui jika Kun benar-benar akan menjadi pasangan sisa hidupnya, dan hari-hari setelah sekarang.

"...gimana, Kak?"

"Aku ikut kamu, ke Jerman."


"Tuh, omongannya keren tau, kamu ga mau nyoba?"

Johnny mendecih. "Ga gitu pun kamu udah cinta mati sama aku."

"Bener sih. Tapi ya, omongan orang yang beneran sayang pasti juga nyentuh orang lain yang denger," Ten mendongak, melihat langit yang sudah menjadi gelap, dengan suasana membahagiakan dari pasangan yang akan menikah tersebut. "Dan aku cuma jadi orang lain itu."

"Masih ada bibit suka sama cowok yang ga punya mata selain ke Yangyang, sampai sekarang?"

Melihat pacarnya memasang wajah cemburu, Ten tersenyum jahil. "Kalau ga disuruh ngurusin lamarannya dia, mungkin masih suka?"

"Mimpi setinggi mungkin dah lu."

"'Lu'?????"

Johnny terkekeh dan menusuk kecil pipi Ten yang selalu terlihat mulus di matanya. "Makanya ga usah nyoba iseng sama aku,"

Mereka berdua berhenti mengobrol ketika Kun memanggil Ten agar memfoto dua keluarga yang sebentar lagi resmi memiliki hubungan satu sama lain.

Dengan posisi Yangyang pasrah dipeluk dua perempuan yang sangat menyukainya, dan ayah Yangyang serta Kun ikut pasrah foto di pinggir demi menjaga suasana bahagia sekarang.



Good Old Days - KunYangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang