°°°Langit kini telah berubah gelap, Areska tak kunjung pulang ke rumahnya setelah bertemu Rafen. Ponselnya terus berdering, panggilan masuk dari Karina. Serta belasan chat yang di kirim sang ibu tak kunjung ia balas.
Areska duduk termenung di tepi jalanan sepi, cowok itu mematikan ponselnya serta menatap kosong ke depan. Dia hanya butuh menenangkan dirinya sendiri untuk beberapa saat.
"Wah, wah, wah. Ketemu lagi nih kita," ujar seseorang menghampiri Areska.
Cowok dengan wajah lesuh itu mendongak, mendapati Varo dengan beberapa orang temannya berdiri tepat di depannya.
"Mau ngapain lo di sini?" tanya Areska dengan tatapan malas tak bersemangat.
Varo beserta teman-temannya tertawa melihat kondisi Areska. "Lemes banget, belum juga gue hajar," ledeknya.
"Gue lagi nggak mood. Sono lo pada pergi," usir Areska mengayunkan tangannya seolah menyuruh Varo untuk pergi.
"Enak aja lo nyuruh-nyuruh gue pergi. Heh, urusan kita belum selesai. Gue masih mau bikin perhitungan sama lo!"
Lantas Areska berdecak. "Perhitungan apa lagi sih, Malih? Asal lo tau ya, nilai matematika gue aja sering dapet nol, lo malah datang nambah-nambah beban kepala gue," cerocos Areska masih dengan nada lesuhnya.
"Jangan kebanyakan bacot lo! Muka udah kayak orang mabok masih berani ngomong aja lo."
"Terserah gue lah, mulut-mulut gue!"
"Ck, apasih yang di bangga-banggain Alea ke lo? Badan kurus, otot nggak ada, bentukannya kayak cowok alay. Gue akui lo cuma menang di tampang doang!" ledek lagi Varo habis-habisan.
Areska menunjuk tepat di wajah Varo. "Heh! Berani ngatain gua, lo? Gue tendang 'adik' lo nangis juga lo," balas Areska.
Varo melotot, ia spontan mengumpat. Sedangkan teman-temannya di belakang berusaha menahan tawa karena ulah bicara Areska, blak-blakan.
"Nggak usah ketawa lo!" hardik Varo membuat teman-temannya langsung kicep. "Bawa dia," titahnya pada mereka agar menyeret Areska.
"Siap bos!"
"Woi! Jangan sentuh-sentuh gue! Korona!"
Areska pasrah ketika dirinya di bawa secara paksa oleh dua orang teman Varo. Cowok itu hendak memberontak, namun, percuma tenaganya sudah habis terkuras untuk hari ini.
°°°
Tubuh ringkih Areska di hempaskan begitu saja di sebuah kursi tua yang terletak di markas Varo. Cowok itu dengan lima orang temannya mengelilingi Areska yang tergeletak lemas. Maklum, efek belum makan.
"Lo pada ngapain sih ngelilingin gue? Mau jadiin gue babi ngepet?" sewot Areska.
"Jangan kebanyakan omong! Gue mau kasih sedikit pelajaran sama lo karena gara-gara lo gue putus sama Alea!"
"Ya baguslah! Spek bidadari kayak Alea, nggak pantes sama jontor kayak lo!" hardik Areska. "Bidadari itu cocoknya sama Malaikat kayak gue," lanjutnya lantas tertawa singkat.
"Kebanyakan bacot lo!" hardik Varo tersulut emosi, kini tangannya dengan kuat meninju rahang Areska sehingga membuat cowok tak berdaya itu mengeluarkan darah segar dari bibirnya.
"Lo tau? Gara-gara lo semua rencana gue hancur! Alea selalu muji-muji lo depan gue! Gue muak, tau nggak!"
Bugh
Satu tonjokan penuh amarah itu, kembali Varo layangkan ke perut Areska sehingga cowok itu tak mampu melawan.
"Kenapa lo harus datang buat ngerusak semuanya, Areska!"
Varo hendak melayangkan tinjunya kembali, namun, kini Areska selamat karena teman-teman Varo mencegahnya.
"Udah, bro! Lo bisa buat anak orang mati karena lo!" cegah Beni, salah satu teman Varo yang menahan dirinya.
"Gue lebih rela dia mati dari pada rencana gue hancur!"
"Udahlah Bro, yang ada lo yang kena masalahnya nanti," lerai teman lainnya.
"Mending kita cabut aja. Dari pada masalahnya tambah runyam."
"Iya, ayok Var."
Varo kali ini menuruti kemauan teman-temannya. Dengan perasaan penuh amarah, cowok itu pergi meninggalkan Areska sudah terkulai lemas tak berdaya, tak ada orang yang bisa membantunya.
°°°
"Inget jalan pulang?" sindir Karina saat mendapati Areska memasuki rumah sekitar pukul sepuluh malam.
Areska dengan tubuh lunglai dan lebam di sekitar area wajahnya itu berhenti, menghela napas lantas menatap nanar ke arah sang ibu.
"Wajah kamu kenapa lagi?" bentak Karina sedikit kaget melihat wajah anaknya penuh luka.
"Berantem lagi, heh?" Karina sengaja menampar pelipis Areska yang penuh luka.
Cowok itu menahan rasa sakitnya dengan memejamkan mata sekilas. Ibunya benar-benar kejam. Kenapa dia selalu memperlakukan anaknya seperti anak tiri. Areska juga ingin sekali di perhatikan, dia juga ingin di peluk ketika musibah mendatanginya. Namun, di keadaan seperti ini tidak ada yang bisa membelanya.
"Pinter banget kamu sekarang! Tugas kamu masih numpuk di rumah, malah keluyuran nggak jelas! Pokoknya Mama nggak mau tahu ya, kamu cuci piring, bersihin rumah sampai bersih. Mengerti!"
Wanita itu kini berlalu pergi dari hadapan Areska. Sedangkan remaja tersebut masih berdiam diri di tempat semula dengan tatapan tajam.
"Aku mau istirahat," tutur Areska membuat Karina berhenti melangkah. Berbalik badan menatap sang anak.
"Apa kamu bilang?"
"Mama kerjain aja apa yang jadi tanggung jawab Mama. Aku sebagai anak cuma belajar bukan buat jadi pembantu. Kurang jelas?" balas Areska mendekati sang ibu dan berbicara pelan di hadapannya.
Kini cowok itu menaiki tangga, menuju kamarnya.
"Areska! Berani kurang ajar kamu?" pekik Karina kini tersulut amarah.
Berhenti sejenak, Areska menghela napasnya kembali. "Aku nggak akan kurang ajar kayak gini, kalau Mama bisa ngertiin posisi aku. Ada saatnya orang merasa capek dengan hidupnya. Dan aku udah capek lihat kelakuan Mama yang semena-mena terhadap anaknya," tutur Areska dengan aura dingin. "Aku curiga, apa jangan-jangan aku bukan anak kandung Mama sama Papa?" pikirnya tersenyum sungging.
"ARES!"
Areska kembali menapaki anak tangga, kini benar-benar tak peduli dengan kemauan sang ibu. Dia yang selalu menuruti kemauan orang, kini berubah menjadi seorang pembangkang.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
ARESKA [complete]
Teen Fiction🐰LEGANTARA HIGH SCHOOL SERIES🐰 Ketika keadaan mengharuskan untuk menangis, tak usah berpura pura tegar, karena tak semua air mata berarti lemah. Namun berbeda dengan Ares, ketika keadaan menginginkan dirinya menangis, hatinya mengatakan untuk teta...