Anak teladan seperti Areska, baiknya di tendang saja dari kelas. Katanya yang mau belajar, malah tertidur di dalam kelas. Bu Amel memperhatikan salah satu muridnya, guru itu sampai geleng-geleng kepala karena kelakuan Areska."Arka! Bangunkan teman kamu itu," titah bu Amel melipat kedua tangannya di depan dada.
"Jangan Bu, kasian. Mungkin dia lelah," balas Arka tergelak singkat.
"Maksud kamu apa? Sengaja biarin dia tidur di kelas? Kalau mau tidur mending di rumah, nggak usah datang ke sekolah," geram wali kelas XI IPS 2 tersebut.
"Kasian, Bu. Areska terlalu banyak pikiran. Ibu sih nggak tahu, gimana--" ucapan Arka berhenti tatkala melihat Areska menegakkan tubuhnya sembari menguap.
"Enak ya tidur. Mau saya bawain bantal nggak sekalian?" sindir bu Amel saat Areska terbangun dari tidur nyenyak-nya di kelas.
Areska lingling, cowok itu menelisik sekitarnya yang di penuhi para teman-teman sekelasnya.
"Lah? Saya pikir saya ada di kamar, Bu, makanya saya tidur. Eh, tau-taunya di kelas," kata Areska dengan acuh.
"Jangan bercanda, Areska!" seru bu Amel menahan kesal.
"Ya jangan terlalu serius juga dong, Bu. Ntar baperan," balasnya malah bergurau.
"Keluar kamu. Cuci mukanya, biar keliatan ini di sekolah!"
"Ntar deh, Bu. 'Kan saya mau belajar."
"Belajar? Bahkan jam pelajaran saya hampir habis karena mengomeli kamu. Kalau serius mau belajar, harusnya kamu udah siap dari tadi. Bukannya tidur. Sana cepat keluar!"
Untuk kesekian kalinya Areska menghela napas. Mau tak mau cowok itu menuruti keinginan gurunya. Cowok itu melangkah gontai keluar kelas. Melihatnya lagi-lagi bu Amel geleng-geleng kepala.
Areska memilih menuju UKS, ketika bangun tidur barusan, kepalanya terasa berat--sakit sekali. Sebelum memilih tidur di brankar UKS, Areska menyempatkan diri mengambil sebuah obat pereda sakit kepala di kotak obat yang tersedia di sana. Mengambil air yang berada di galon, lalu menelan obat itu.
Sejak memasuki kelas tadi, kepala Areska berdenyut nyeri. Itu sebabnya dia tertidur di dalam kelas saking tidak bisa menahan rasa sakitnya. Belum lagi luka yang belum kering ini masih meninggalkan rasa perih.
Areska hendak memejamkan kembali kedua bola matanya, namun seseorang membuka pintu UKS itu membuatnya sedikit kaget.
Dahi Areska berkerut dalam tatkala Vivi mendatanginya dengan--entahlah kenapa gadis itu selalu datang ketika Areska mendapat masalah.
"Vi? Ngapain lo ada di sini?" Areska kembali menduduki dirinya sembari bersandar di kepala brankar.
Vivi menggigit bibir dalamnya, kedua tangannya menggenggam satu sama lain, merasa gugup.
"Hmm ... i-itu--" Vivi menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal. Dia bingung bagaimana cara mengungkapkannya. "M-muka lo, gue bantu obatin ya," katanya secara tiba-tiba. Tentu saja membuat Areska semakin kebingungan.
"Serius deh, Vi. Gue curiga sama lo. Lo suka ya sama gue?" Areska memicingkan matanya menatap Vivi.
Gadis berpipi bulat itu melotot. "Pede banget lo!" pekiknya.
Areska tergelak. "Ya, terus kenapa lo tiba-tiba perhatian gini sama gue? Atau ada maunya? Mau apa lo? Bilang," Tuduhnya lagi.
"Eng-nggak. Gue nggak minta apa-apa kok dari lo. Gue ... gue cuma perhatian sesama temen aja kok," alibi gadis itu.
"Jam bu Amel udah selesai?"
"Belum."
"Kok lo tahu gue ada di sini?"
"Tadi, alibinya gue mau minta izin buat ke UKS karena sakit perut. Terus gue cari lo ke kantin nggak ada, terus inisiatif aja ke sini. Ternyata beneran lo disini," jelas Vivi.
"Tuh 'kan. Ketahuan sekang lo secret admirer gue." Areska menunjuk wajah Vivi yang kemerahan.
"Iih, Ares! Enggak gitu!"
"Yaudah, sana balik ke kelas. Gue nggak papa."
"Nggak bisa. Pokoknya gue harus obatin luka lo dulu." Vivi nekat, cewek itu tanpa memperdulikan ucapan Areska kini mengambil kotak P3K. Ia keluarkan obat merah dengan kapas lalu mengolesi pada luka Areska.
"Sss... pelan-pelan, sakit woi!" Areska berdesis ketika merasakan perih ketika cairan basah itu menyentuh lukanya.
"Makanya jangan banyak gerak!"
Areska menurut, cowok itu kini diam dengan memandangi wajah serius Vivi yang tengah mengobati lukanya. Areska larut dalam imajinasinya, berandai-andai jika di hadapannya adalah Alea. Yang mengobati lukanya dengan telaten adalah Alea. Tapi sayang seribu sayang, gadis itu kini tak lagi peduli pada dirinya.
"Jangan ngeliatin gue kayak gitu. Ntar lo suka lagi sama gue!" tutur Vivi salah tingkah ketika Areska memperhatikannya.
"Vi, menurut lo Alea benci ya sama gue?" tanya Areska, alih-alih membalas ucapan gadis di depannya.
"Nggak juga. Menurut lo sendiri gimana?" balas Vivi.
"Iya."
"Kenapa?"
"Buktinya dia nggak mau lagi ngelirik gue. Seakan gue adalah kuman yang harus di basmi," lirih cowok itu dengan tatapan menyedihkan.
"Apa mungkin gue harus ngelupain dia?"
Akibat ucapannya, Vivi jadi berhenti mengolesi luka di wajah Areska. Gadis itu memandang wajah Areska secara terang-terangan.
"Kalau menurut lo Alea terlalu menyakitkan buat hati lo. Yaudah, berhenti berjuang buat dapetin dia. Tapi kalau lo ngerasa dia adalah gadis istimewa dengan hati lembut, lo boleh maju lagi. Asalkan hati lo kuat. Tapi kalau menurut gue, nggak semua yang lo pikir jahat emang beneran jahat. Bisa jadi dia melakukan itu karena sebuah keharusan."
Kening Areska kembali berkerut. "Maksud lo?"
Vivi tersenyum tipis. "Sayangnya gue nggak bisa berterus terang. Luka lo udah gue obatin tuh, gue balik kelas ya. Kayaknya jam bu Amel udah habis. Gue duluan," ucap Vivi setelah meletakkan kotak P3K itu ke tempatnya, gadis itu berlalu keluar.
Areska bahkan tak tahu Vivi telah pergi keluar, dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang di ucapkan gadis itu sungguh Areska kepikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARESKA [complete]
Roman pour Adolescents🐰LEGANTARA HIGH SCHOOL SERIES🐰 Ketika keadaan mengharuskan untuk menangis, tak usah berpura pura tegar, karena tak semua air mata berarti lemah. Namun berbeda dengan Ares, ketika keadaan menginginkan dirinya menangis, hatinya mengatakan untuk teta...