°°°Areska bersender pada penyangga jembatan pinggir jalan. Menatap hampa pada permukaan yang ada di depannya. Merenungi diri.
"Ares?!"
Mendengar namanya disebut, Areska berbalik badan. Badannya mematung seketika dengan mata membola. Terkejut ketika orang yang tak ingin ditemuinya terpampang nyata di hadapannya.
Areska bergegas hendak pergi. Namun, lelaki paruh baya itu berusaha menghentikan langkahnya. Mau tak mau akhirnya berhenti, enggan menatap lelaki tersebut.
"Kamu sudah besar ya, Nak." Raven hendak menyentuh bahu Areska, namun anaknya itu malah menghindar.
"Areska--"
"Ngapain Papa ada disini?" wajah Areska berubah datar dan serius.
"Mau coba nyari masalah dan ngelukain aku lagi? Iya?!" ketus Areska ketika sang papa hendak bersuara.
"Kamu salah paham, Nak. Papa kesini mau minta maaf..."
"Maaf?" Areska membeo, tertawa sumbing. "Segampang itu Papa minta maaf? Papa nggak sadar apa yang udah Papa lakuin beberapa tahun lalu sama aku dan mama, hm?" cetusnya datar.
Raven menghela napasnya, mencoba sabar. "Iya Papa tau. Papa tau Papa salah sama kamu dan mama. Papa nyesel. Papa pengen minta maaf sama kamu," ucap Raven tulus.
Lagi-lagi Areska tertawa sumbang. Meremehkan segala ucapan yang di lontarkan sang papa. "Papa pikir bakal semudah itu aku maafin Papa? Mama aja mungkin nggak mau maafin Papa apalagi buat ketemu sama mantan suaminya yang bertanggung jawab! Apalagi aku! Yang nggak pernah Papa anggap sedikit pun. Aku emang benci kalian berdua, tapi seenggaknya Mama nggak ada niatan buat ninggalin aku sendirian!" cetus Areska sarkas. Raven terdiam membisu.
"Pak," panggil seorang lelaki pada Raven di samping sebuah mobil. Ia menunjuk pada jam tangannya memberitahu sang majikan jika waktunya telah habis. Raven mengerti, dia mengangguk sekali.
Raven memang datang kesini karena suatu panggilan pekerjaan dengan perusahaan lain. Tak sengaja ketika di jalan ia melihat Areska yang termenung. Raven memang sudah lama tak bertemu anaknya, kini ia kembali melihatnya telah remaja. Raven memang jauh dari Areska, namun, tanpa sepengetahuan Areska, Raven sering diam-diam melihat pertumbuhan sang anak dengan perantara anak buahnya.
"Papa ngerti perasaan kamu. Papa juga nggak bisa nyalahin kamu karena semua emang salah Papa. Walaupun hari ini kamu nggak bisa maafin Papa, seenggaknya Papa masih akan berusaha buat dapetin hati kamu. Papa akan tunggu maaf dari kamu," tutur pria berjas hitam itu dengan lembut, lantas kembali pergi meninggalkan Areska sendirian.
Areska enggan menatap kepergian sang papa. Laki-laki itu mati-matian tidak berkata kasar, namun, tetap saja terlepas.
"Oh! Shit!"
°°°
"Salah satu dari Trilogi Van Deventer adalah melaksanakan transmigrasi. Tapi pada kenyataannya, yang diterapkan adalah sistem emigrasi, yaitu bangsa Indonesia dipindahkan ke negara..... ANTARIKSA!" pekik Areska seraya melempar pulpennya ke atas meja. "Dah, pindahin aja nih dunia ke antariksa, capek gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARESKA [complete]
Fiksi Remaja🐰LEGANTARA HIGH SCHOOL SERIES🐰 Ketika keadaan mengharuskan untuk menangis, tak usah berpura pura tegar, karena tak semua air mata berarti lemah. Namun berbeda dengan Ares, ketika keadaan menginginkan dirinya menangis, hatinya mengatakan untuk teta...