Chapter 20

2.2K 454 72
                                    

Terkadang Allah membiarkan kamu untuk merasakan kepahitan dunia ini supaya kamu dapat sepenuhnya menghargai manisnya iman.

-Omar Suleiman-

🕊🕊🕊

Seperti biasa setiap libur mengajar, aku selalu menyempatkan di kantor kecilku. Untuk mengecek stok barang atau omset penjualan tiap bulan. Pagi ini aku membantu karyawan-karyawan ku membuat keripik pisang di bagian dapur. Alhamdulillah karyawanku bertambah dua orang laki-laki untuk bagian packing. Sebab, tiap hari orderan dari online selalu ada. Kadang, kalau aku lagi mengajar di sekolah ketika jam istirahat aku membantu admin online untuk membalas pesanan customer.

Tidak terasa sudah satu jam aku berada di sini memantau semua pekerjaan, kini aku sedang berada di ruangan administrasi, mengarahkan staf admin online dan admin gudang untuk selalu mengecek ketersediaan barang. Selain itu aku menyuruh mereka jika pisang yang di dapur beserta bumbunya segera habis agar selalu memberitahuku, supaya aku bisa membelinya lagi.

Tiba-tiba Ikhsan datang menghampiriku, dia karyawan kepercayaanku sebagai sales marketing yang selalu memantau para reseller. Dia juga tidak merasa keberatan jika harus mengantar pesanan reseller daerah Jakarta.

"Ada apa Ikhsan?" tanyaku.

"Di depan ada Mba Zahra, Pak," jawabnya.

Aku melirik jam tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh. Astagfirullah aku lupa kalau hari ini mau ke tempat cetakan undangan pernikahan dengan Zahra.

"Yasudah, Lusi, Risma, saya minta tolong atur ya. Maaf juga hari ini kalian jadi lembur seharusnya libur. Soalnya banyak pesanan," kataku kepada dua staf admin.

Memang seharusnya Minggu libur kerja. Tetapi gara-gara ada flas shale yang diadakan e-commerce jadi pesanan menjadi banyak.

"Ikhsan, tolong bantu mereka ya, saya ada keperluan sama Zahra soalnya. Nanti kalau butuh apa-apa hubungi saya," kataku sambil menepuk pundak Ikhsan.

"Siap Pak!" ucap Ikhsan.

Setelah itu aku langsung keluar dari ruangan staf administrasi menuju ke ruangan depan. Terlihat Zahra sedang duduk sembari membuka handphone. Dia memakai abaya berwarna hitam warnanya pun senada terlihat cantik. Entah kenapa aku suka melihat Zahra memakai pakaian yang warnanya tidak terlalu mencolok.

"Hai, sorry, lama, ya?" ucapku sembari menghampirinya.

"Enggak kok, aku barusan sampai. Kamu kalau masih ada pekerjaan, gak papa aku tunggu," balasnya diakhiri senyuman.

Setelah lamaran itu, aku dan Zahra tidak memangil dengan panggilan saya dan kamu, tetapi aku dan kamu. Meskipun awalnya aku masih canggung, tapi lama kelamaan jadi kebiasaan.

"Udah selesai, kamu kenapa kesini? Kan aku udah bilang, aku yang jemput kamu," ucapku.

"Gak mau repotin kamu hehe... tapi, kamu bawa mobil, kan?"

Aku pun tersenyum. "Bawa, yasudah yuk kita berangkat!"

Kemudian aku dan Zahra keluar dari kantor. Setibanya di depan mobil, aku membukakan pintu belakang untuk Zahra. Gadis itu tersenyum senang sembari mengucapkan terima kasih. Bagaimana pun aku akan selalu memperlakukan Zahra untuk bahagia dari hal-hal yang sederhana. Karena prinsipku, sebisa mungkin aku akan memuliakan istriku dan membahagiakannya.

"Oh ya, gedung resepsi sudah Papa pesankan di ballroome hotel bintang lima yang waktu itu acara tunangan kak Alesha. Kamu masih ingat?"

Aku yang baru saja hendak menstrater mobil pun tidak jadi. Kenapa Zahra selalu menyebut nama Alesha? Padahal dia tahu kalau aku setiap mendengar namanya, hatiku seakan tidak bisa menerima dan melupakannya.

Tasbih CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang