40

83 9 0
                                    

^^^

Setelah Aneska mengangkat panggilan dari pak Bimo, gadis itu kini bingung harus bagaimana. Apakah ia harus keluar sekarang atau nanti saja setelah mereka semua pergi? Ia sedikit takut—tidak, lebih tepatnya takut sekali mengingat ekspresi wajah Jajak yang begitu marah. Tetapi disisi lain, ia berpikir bahwa dirinya tidak tahu sama sekali dengan maksud dari pak Bimo memerintahkan Aneska untuk segera menemui gurunya itu.

Pada akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dari kelas tersebut. Semua yang tengah berada tak jauh dari tempat Aneska berdiri seketika menoleh dan memasang raut terkejut sekaligus kebingungan.

"Aneska? Kamu habis ngapain sembunyi dikel—"

"KAMU!" teriak Jajak tanpa diduga-duga. Matanya yang memerah terlihat membulat sempurna ke arah Aneska. Beberapa detik kemudian, Jajak berdiri, berjalan mendekati Aneska perlahan. Gadis itu tak dapat menatap wajah Jajak yang terlihat begitu menyeramkan sekarang. Jajak yang dulu selalu ramah dan lembut dalam berbicara, kini berubah menjadi seseorang yang sangat berbeda.

"KAMU TEGANYA BUNUH BAPAK SAYA! SALAH BAPAK SAYA SAMA KAMU TEH APA SAMPAI KAMU BIKIN BAPAK SAYA KAYAK GINI?!"

Tunggu, apa? Membunuh?

"Bunuh? Bang, Aneska sama sekali nggak ngerti apa yang lo maksud." ucap Aneska berusaha untuk tenang.

"Alah! Jangan ngelak, kamu! Kamu pikir saya ngomong kayak gini asal-asalan, huh?! Pak polisi nemuin ini ditangan bapak!" ujar Jajak penuh emosi seraya menunujukkan barang yang tadi Aneska lihat. Aneska berusaha membaca teks yang ada di sana.

'Tolong siapapun yang menemukan saya, tolong tangkap orang yang sudah membuat saya sekarat seperti ini! Anak yang kejam itu tidak pantas untuk hidup! Hukum dia sebagaimana dia memperlakukan saya! Hukum Aneska! Dia membuat saya seperti ini, saya tidak rela dia hidup! Tolong beri saya keadilan...!'

Selesai membaca akhir dari tulisan tersebut, Aneska lantas mengerutkan kening. Ia merasa aneh dengan gaya bahasa yang digunakan pada surat tersebut. Setahunya, bukankah mang Dani selalu menggunakan aksen Sunda setiap kali berbicara atau mungkin dalam menullis sesuatu? Ia yakin, ada seseorang dibalik ini semua.

"Bang, lo yakin ini ditulis sama mang Dani? Gue benar-benar ngerasa ada yang ganjil sama gaya bahasa mang Dani di surat ini. Pasti ada—" Aneska mengungkapkan apa yang dipikirannya. Namun, karena Jajak sudah buta karena amarah, ia terlihat semakin bergejolak dan memotong pembicaraan Aneska.

"Tahu apa kamu soal bapak saya, huh?! Kamu teh teu apal tulisan bapak saya kayak gimana! Ini benar-benar jelas tulisan bapak! Kamu yang bapak sebutin! Kamu pembunuhnya! Dasar psikopat, kamu!" teriak Jajak dan tanpa disangka-sangka berusaha mencekik leher Aneska seraya menjambak rambutnya. Aneska yang merasakan tenggorokannya terjepit kuat lantas memberontak.

Polisi, pak Bimo, pak Yuta, bu Naomi, Helen dan lain-lain yang melihat kejadian itu lantas berlari secekatan mungkin untuk memisahkan mereka berdua seraya berteriak histeris. Tangan Jajak yang mencengkram kuat sungguh susah untuk dilepaskan. Namun, setelah polisi memperingatkan pemuda tersebut bahwa ia juga akan masuk penjara jika membunuh Aneska, ia lantas mengendurkan cengkramannya dengan kasar.

Aneska yang lega karena bisa menghirup udara segar kembali lantas dengan napas memburu meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tangannya dengan gemetar menyentuh lehernya yang memerah dan kesakitan.

Beberapa detik dari kejadian menegangkan tersebut, datanglah dari arah lapangan, Farel dan Gevan yang terlihat panik melihat keadaan Aneska. Mereka berdua berlari secepat mungkin dan langsung bertanya apa yang sebenarnya terjadi.

"Nes, leher lo kenapa?!" tanya Farel khawatir. Ia kemudian melemparkan pandangannya pada pak Bimo dan yang lainnya karena Aneska tak kunjung menjawab. "Ini ada apa, pak?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rewrite Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang