제25화

676 62 2
                                    

Sudah ditentukan bahwa selama satu tahun ke depan merupakan masa-masa berkabung. Mulanya ada beberapa menteri yang mengusulkan jika masa berkabung itu selama tiga tahun namun menteri lain menolak dengan alasan bahwasanya tiga tahun itu terlalu lama dan yang meninggal hanya Pangeran bukan Raja. Dan ada yang mengusulkan untuk masa berkabung selama enam bulan namun itu dianggap terlalu cepat. Maka seorang Menteri termuda mengambil jalan tengah yaitu selama satu tahun ke depan merupakan masa-masa berkabung. Semua menteri dan pejabat setuju atas saran Menteri muda tersebut.

Selama satu tahun ke depan tidak boleh ada perayaan, pernikahan dan malam penyatuan pada masa-masa berkabung tersebut.

Seorang pemuda dengan jubah berkabungnya sedang berjalan menuju ke kediaman Raja dan Ratu untuk melaksanakan kegiatan salam pagi. Yi Woo masih meratapi kepergian adiknya yang begitu cepat. Namun akhir-akhir ini Putra Mahkota itu sudah mulai sedikit demi sedikit mengikhlaskan kepergian adiknya--Dae Joon--walaupun belum sepenuhnya ia merelakannya. Di sisinya ada Shin Ra-eun yang menyandang status sebagai Putri Mahkota sekaligus istri dari pemuda tesebut.

Lalu mereka berdua masuk ke dalam sebuah ruangan setelah Kasim Penjaga mengintruksikan untuk mempersilakan keduanya masuk ke dalam ruangan tersebut.

Tampaklah seorang Raja yang tak lain Ayah kandung Yi Woo sedang duduk dengan kewibawaannya. Di sisinya ada Ratu Jang yang terlihat sayu, tampak begitu jelas kantung mata di kedua matanya.

"Selamat pagi Yang Mulia Raja, Yang Mulia Ratu. Hamba Putra Mahkota datang menemui Yang Mulia. Bagaimana kabar Anda berdua pagi ini?" tanya Yi Woo dengan nada bicara yang terdengar lemah lembut tidak seperti biasanya yang terkesan tegas. Lalu disusul Ra-eun yang mengucapkan salam pagi juga.

"Baik-baik saja. Bagaimana dengan kalian berdua?" tanya balik Raja setelah menjawab pertanyaan kabar dari mereka berdua. Beliau tahu bagaimana keadaan anak sulungnya itu akhir-akhir ini semenjak Pangeran Dae Joon mangkat.

"Kami berdua juga baik, Yang Mulia." jawab Putra Mahkota dengan senyum yang dipaksakan.

Sementara sang Ratu hanya terdiam. Tidak ingin ikut terlibat dalam percakapan mereka. Bagaimana mungkin Putra Mahkota baik-baik saja setelah mengonsumsi teh beracun selama enam bulan lamanya. Ia yakin cepat atau lambat Putra Mahkota itu akan menyusul anak kandungnya.

~~~

Sedari tadi Se-ri sedang menunggu seseorang. Seorang pria yang sedang mengikuti rapat di balai agung. Ia sedang menunggu Ji-hwa. Rindunya sudah tak tertahan lagi dan ingin segera bertemu dengan salah satu menteri tersebut.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu kini sudah keluar dari balai agung itu. Se-ri semakin gugup dan ia berusaha menghalau rasa gugup yang menghinggapinya. Pria itu semakin mendekat namun ada satu hal yang berbeda dari penampilan pria itu. Pakaiannya yang semula berwarna biru kini menjadi berwarna merah menambah auranya yang terlihat begitu menyala. Se-ri tidak tahu apa nama jubah yang dipakai pria itu. Yang pasti Ji-hwa terlihat berkali lipat lebih tampan.

Selangkah lagi pria itu sampai. Gadis itu menampilkan senyum termanisnya. Namun senyumnya yang paling manis itu tidak bertahan lama padahal ia tidak pernah menunjukkan senyum yang seperti itu sebelumnya. Ji-hwa melewatinya begitu saja bahkan tak meliriknya sama sekali. Pria itu terlihat sibuk berbincang dengan pria baya yang mengenakan pakaian berwarna sama.

Se-ri menatap pria itu dari belakang. Ia merindukan punggung itu. Terlihat Ji-hwa membungkukkan tubuhnya dan setelah itu pria baya yang ternyata adalah Menteri Park pergi. Lalu gadis ber-hanbok hijau itu segera bergegas untuk menghampiri pria tersebut.

"Jihwa-ssi! Kim Ji-hwa!" panggilnya namun pria itu tidak menoleh sama sekali. Padahal jaraknya tidak jauh bahkan terbilang cukup dekat, hanya beberapa meter saja. Jadi tidak mungkin Ji-hwa tidak mendengar panggilan Se-ri. Ada apa dengan pria itu? Apa telinganya sedang bermasalah?

Mungkin seharusnya ia tidak memanggil nama pria itu secara langsung karena ini masih di sekitaran balai agung. Maka ia pun memanggilnya

"Menteri Kim?"

Dan akhirnya pria itu menoleh ke arahnya. Segera gadis itu berjalan cepat menghampiri Menteri tersebut.

"Dasar. Kau akan menoleh jika aku memanggilmu dengan panggilan Menteri Kim?" ujarnya dengan berdecak kesal lalu mencebik. Akan tetapi pria yang berada di dekatnya itu hanya terdiam tak menanggapinya.

"Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Ji-hwa dengan berusaha menghindari tatapan mata milik gadis di dekatnya itu.

"Ada apa denganmu?" tanya balik Se-ri yang merasa janggal atas sikap pria itu.

"Baiklah kalau begitu, permisi." Pria itu melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan gadis itu yang masih berkecamuk dalam pikirannya.

"Jihwa-ssi..." panggil gadis itu lirih.

Ji-hwa menghentikan langkahnya. Bukan karena panggilan gadis itu yang memanggil namanya lirih. Melainkan ada sesuatu yang harus ia sampaikan kepada gadis yang berjarak tidak jauh di belakangnya itu.

"Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi." ucapnya tanpa melirik ke arah gadis yang masih mencerna ucapannya barusan dan kemudian ia berlalu pergi.

Sepenggal kalimat itu berhasil membuat hati Se-ri remuk untuk kedua kalinya oleh pria yang sama.
















































My Life in JoseonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang