제31화

546 53 2
                                    

Setelah adik iparnya itu pulang dengan perasaan marah dan kecewa tidak berselang lama kemudian, Yeon-mi datang setelah pergi entah ke mana, mungkin pasar. Raut wajah wanita itu terlihat sayu. Yeon-mi berusaha menyembunyikan kesedihannya. Wanita itu mendengar percakapan antara Ji-hwa dan Ji-kyo. Namun ia seolah-olah tidak tahu apa yang telah kedua laki-laki itu bicarakan sampai Ji-kyo seemosi itu.

Ji-kyo sudah tahu tentang perasaan Ji-hwa pada sepupunya. Pria itu mencintai sepupunya bukan bibinya. Tentu saja ia tidak terima dan marah. Kenapa Ji-hwa menikahi Yeon-mi jika mencintai Je-sang? Ji-kyo menanyakan tentang itu dan Ji-hwa memberikan jawabannya.

"Karena saat itu usia Je-sang masih belia. Juga karena Ayahku memintaku untuk menikah dengan Yeon-mi. Aku belum memberikan keputusan apapun saat itu tapi Ayahku tetap menikahkanku dengan adik ibumu itu. Ternyata Ayahku melakukan itu karena ayah Yeon-mi, kakekmu yang memintanya. Ayahku tidak bisa menolak karena kakekmu itu teman baik ayahku. Kakekmu juga melakukan semua itu karena Yeon-mi yang memintanya dan memohon padanya ...

... Aku menikah dengannya namun tanpa didasari oleh cinta."

Penjelasan yang panjang lebar dari Kim Ji-hwa itu membuat laki-laki ber-klan Han itu terdiam. Jawaban yang mendetail dan terperinci dari pria itu memang terdengar masuk akal dan bisa dimengerti. Namun tidak seharusnya dia tetap memiliki perasaan terhadap sepupunya. Dia harus membuka hatinya untuk Yeon-mi, istrinya sendiri.

Ji-kyo tidak memberitahukan tentang hal itu kepada kedua orang tuanya. Ia khawatir akan semakin runyam semuanya.

~~~

Seorang pria dengan pakaian luarnya yang bernama durumagi itu sedang melewati beberapa rumah-rumah tradisional di sebuah pedesaan. Ji-hwa berhenti di sebuah rumah hanok yang sangat sederhana, tidak seperti kediaman miliknya atau kediaman para kaum yangban lainnya.

Baru saja ia melangkah, seorang pria baya keluar dari dalam rumah itu. Pria tua itu tampak terkejut saat melihat kedatangan Ji-hwa. Pria baya tersebut mengenakan baju berwarna putih tulang berbahan katun yang sudah lusuh dengan baji/celana panjang berwarna hitam. Sepertinya pria baya itu seorang petani yang memiliki rumah tersebut.

"Kau siapa? Ada urusan apa datang kemari?" tanya pria yang sudah berumur itu pada Ji-hwa.

"Aku Kim Ji-hwa, Menteri Kim." jawab Ji-hwa memperkenalkan dirinya. Pria baya yang tak diketahui namanya itu terlihat sedikit tidak bersahaja setelah tahu bahwa pria yang datang ke rumahnya itu seorang menteri.

"Untuk apa seorang Menteri datang ke gubuk petani ini? Aku tidak punya apa-apa." ucapnya bermaksud agar Ji-hwa pergi. Mengusir dengan cara yang halus. Namun diam-diam hatinya mengucap syukur karena pemuda yang baru-baru ini tinggal dengannya sedang pergi ke ladang.

"Jika saya boleh tahu siapa nama anda?" tanya Ji-hwa tidak ingin menggubris ucapan merendahkan diri dan usiran dari petani tua tersebut.

"Untuk apa menanyakan namaku? Apa kau akan menjadikanku seorang budak? Aku sudah hidup susah sebagai petani jangan kau buat lebih sulit lagi hidupku, Pak Menteri."

"Tidak. Saya datang kemari tidak bermaksud untuk itu. Baiklah jika anda tidak ingin memberitahu nama anda, saya tidak keberatan." Ji-hwa membalas dengan nada yang terdengar ramah dan sopan membuat pria baya itu terlihat sedikit tenang dan melega. Ternyata Menteri muda itu tidak seperti para menteri yang ada dipikirannya.

"Lalu apa maksud kedatanganmu?" tanya pria baya itu untuk yang kesekian kalinya menanyakan maksud dan tujuan Ji-hwa datang ke rumahnya.

"Apa anda tinggal dengan seseorang belum lama ini? Seorang pemuda." pertanyaan yang terdengar seperti tuduhan di telinga pria baya itu membuatnya menduga bahwa Ji-hwa tahu jika dirinya tidak tinggal sebatang kara lagi dan itu membuatnya was-was.

"Sampaikan pada pemuda itu bahwa Jeoha sedang kritis."

.

.

Ya, perkataan Ji-hwa memang benar adanya. Putra Mahkota sedang kritis saat ini. Sang penerus takhta itu sedang berada di ambang kematian. Pelayan Pribadinya yang berada di dekatnya tak henti-hentinya berdoa dan memohon kepada Tuhan agar Yi Woo tersadar dan kembali sehat. Di tengah permohonan doa yang Se-ri panjatkan itu, Putra Mahkota membuka kelopak matanya. Gadis itu menyadarinya dan tersenyum walaupun air mata mengalir di pipinya.

"Jeoha ..." panggilnya lirih lalu mengusap air mata di wajahnya.

"Apa Jeoha ingin minum air?" tawarnya hendak mengambil cangkir yang berada di atas meja di dekatnya. Namun, niatnya mengambil cangkir itu pun urung karena gelengan dari empunya.

Pemuda yang sudah berwajah pucat namun masih terlihat tampan itu agaknya hendak mengatakan sesuatu dengan susah payah. Se-ri yang melihat itu kembali meneteskan air matanya.

"... terima kasih dan ... maaf." kemudian Yi Woo kembali menghembuskan napasnya berat. Se-ri semakin terisak dengan menggelengkan kepalanya kukuh dan menggumamkan kata jangan. Gadis itu takut sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Jangan menangis. Kita akan bertemu lagi nanti." lanjutnya dengan menampilkan senyumnya. Senyum yang akan terakhir kali Se-ri lihat.

"Abbamama." Yi Woo menggerakan kepalanya ke arah sang Ayah yang baru sampai dan duduk di dekatnya. Raja Youngjong terlihat tidak tega hanya untuk melihat anaknya yang sedang sekarat itu. Lalu Raja meraih telapak tangan putranya dan menggenggamnya. Seakan takut kehilangan.

"Aku akan bertemu dengan Eommamama. Selamat tinggal ..."

Setelah mengucapkan sepenggal kalimat dan ucapan selamat tinggal itu Yi Woo memejamkan matanya. Ia tidak akan bangun kembali untuk selamanya. Putra Mahkota telah mangkat.

Se-ri meraung, tangisnya semakin kencang. Ia mencoba mengguncang tubuh yang sudah tak bernyawa itu meskipun dirinya tahu bahwa Yi Woo tidak akan kembali membuka matanya. Sementara Raja hanya menundukkan kepalanya dalam. Menangis secara diam-diam.

"Tidak! Jeoha bangun! Aku mohon bangun! Kumohon!!!"

Lalu terdengar suara para kasim menyerukan bahwa, "PUTRA MAHKOTA TELAH WAFAT!!!"



























My Life in JoseonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang