제32화

513 51 0
                                    

Seorang gadis dengan pakaian berwarna serba hitam dengan wajah yang sembab juga tak terlihat bersemangat itu sedang duduk di atas permukaan tanah dengan pandangan kosong. Air matanya kembali jatuh. Ia menangis tanpa suara.

Setelah menghadiri prosesi pemakaman Yi Woo, gadis itu segera pergi meninggalkan area pemakaman anggota kerajaan. Ia pergi ke tempat sepi untuknya menyendiri, di sungai itulah kini ia berada. Kenapa Putra Mahkota pergi secepat itu? Kenapa orang yang mulai disayanginya pergi meninggalkannya? Putra Mahkota, Pangeran Dae Joon, dua laki-laki itu pergi meninggalkannya untuk selamanya saat dirinya mulai merasa dekat dan terbuka kepada mereka. Rasanya ia ingin segera kembali ke kehidupannya di masa depan. Ia tidak sanggup menjalani kehidupannya di masa itu. Terlalu banyak hal yang menyedihkan dan kematian.

Se-ri kembali berpikir apa sebenarnya tujuan dirinya berada di era Joseon itu? Apa itu hukuman dari Tuhan kepadanya? Akan tetapi atas dasar apa? Gadis itu masih belum tersadar. Bahwa di masa depan ia terlalu mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli terhadap sekitarnya.

Gadis itu menundukkan kepalanya dalam dengan isak tangis yang semakin terdengar. Sampai seseorang menariknya ke dalam dekapan orang itu. Ji-hwa memeluk tubuh gadis yang bergetar itu. Kemudian tangan sebelahnya yang bebas itu terangkat menepuk punggung gadis itu pelan.

Se-ri sedikit mendongakan kepalanya-ingin melihat siapa orang yang tengah memeluknya walaupun gadis itu sebenarnya sudah tahu siapa oknum tersebut-namun Ji-hwa semakin memeluknya erat. Pria itu ingin gadisnya melanjutkan tangisnya sampai puas.

Pelukan Ji-hwa yang hangat dan elusan pria itu yang menenangkan berhasil membuat perasaan Se-ri kembali pulih. Ia melepaskan pelukannya menatap pria itu dengan wajah yang memerah karena habis menangis.

"Sudah puas menangis, hm?" tanya Ji-hwa ramah lalu jari jemarinya menghapus jejak air mata di pipi Se-ri.

Gadis itu hanya terdiam, pandangannya turun menatap nanar sungai di hadapannya yang mengalir. Keadaan menghening hanya ada suara debit air yang dialirkan sungai tersebut.

"Dari mana kau tahu jika aku di sini?" tanya Se-ri memecah keheningan yang tercipta.

"Hanya ..." pria yang juga memakai pakaian berkabung itu terlihat berpikir. "Aku tadi lewat tempat ini dan aku melihatmu." jawab Ji-hwa berbohong. Padahal dirinya mengikuti gadis itu dari pemakaman anggota kerajaan sampai ke sungai itu.

Se-ri hanya ber-oh kecil membuat Ji-hwa melega karena gadis itu tidak menanyakan hal itu lebih lanjut. Ji-hwa dapat melihat jika mata gadis itu sendu dan terlihat jelas warna hitam di kantung matanya ketika ia menangis. Hidungnya pun memerah.

"Jangan menangis lagi. Aku tidak suka melihatmu menangis." kata Ji-hwa dengan menatap wajah gadis itu yang lesu.

"Tersenyumlah." Pria itu mengintruksikan Se-ri untuk tersenyum. Gadis itu mau tidak mau menarik sudut bibirnya dan terbitlah sebuah senyuman tipisnya.

Ji-hwa membalas senyum tipis gadis itu dengan senyumnya yang mengembang. Lalu pria itu berpikir apa tidak apa-apa jika dirinya membahas Putra Mahkota. Bukankah itu waktu yang tidak tepat?

"Jeoha ... menyukaimu." ucapnya dan saat itu juga Se-ri tidak bisa menutupi rasa keterkejutannya.

Putra Mahkota menyukainya? Itu tidak mungkin! Sebelum pria itu wafat ia hanyalah pelayan pribadinya saja dan tidak lebih.

"Tidak mungkin! Kau ini bicara apa." Se-ri menampiknya dan berusaha tertawa namun justru terdengar hambar.

"Ia benar-benar menyukaimu. Apa kau tidak menyadarinya?"

"Aku diperintahkan olehnya untuk menjauhimu karena ia memiliki perasaan khusus padamu."

Perkataan Ji-hwa membuatnya bungkam. Apa iya Putra Mahkota telah menyukainya. Jadi selama ini ia tidak peka jika pria yang sudah wafat itu memiliki perasaan yang khusus padanya. Dan jadi itu alasan Yi Woo memerintahkan Ji-hwa untuk menjauhinya. Karena pria itu telah menyukainya.

Kini Se-ri merasa dirinya jahat terhadap Putra Mahkota yang tidak akan ditemuinya lagi. Gadis itu kembali terisak dan kemudian menangis.

Melihat gadisnya yang kembali meneteskan air mata membuat Ji-hwa merasa bersalah. Waktunya memang tidak tepat. Seharusnya ia tidak membahas tentang mendiang Putra Mahkota. Padahal baru saja gadis itu menghentikan tangisnya namun dengan mudahnya ia membuat gadis itu kembali menangis.

"Maafkan aku." ucap Ji-hwa meminta maaf lalu jarinya menghapus air mata yang sudah menganak sungai di wajah gadis tersebut. Pria itu tidak bermaksud untuk membuat gadis itu menangis ia hanya ingin gadis itu tahu perasaan Putra Mahkota padanya.

Lalu diletakkannya sebuah kerikil kecil di telapak tangan gadis tersebut. Se-ri menghentikan tangisnya dan keningnya mengernyit karena tidak mengerti apa maksud Ji-hwa memberinya batu kerikil.

"Buanglah." kata pria itu dengan menunjuk ke arah sungai menggunakan dagunya. Melihat gadis di sampingnya tak bergeming membuatnya kembali berucap, "konon membuang kerikil ke sungai akan membuat perasaan buruk pun ikut terbuang."

"Mitos."

Ji-hwa sedikit menganga dan tidak percaya akan kata yang gadis itu ucapkan, setelahnya ia membuang napas kasar. Tangannya bergerak hendak mengambil kembali kerikil yang ada di telapak gadis itu. Namun belum sempat ia mengambilnya, gadis itu tiba-tiba saja membuang batu kerikil itu ke sungai.

"Kau bilang ini mitos, kenapa kau membuangnya ke sungai?"

"Hanya mencoba." balas Se-ri ternyata membuang kerikil ke sungai lumayan menyenangkan jika sedang sedih seperti itu. Perasaan sedihnya sedikit mengurang.

Lalu ia mengambil sebuah batu kerikil yang ada di dekatnya. Melemparnya ke air sungai dan menghasilkan bunyi itu membuat dirinya ingin lagi dan lagi membuang kerikil-kerikil itu ke sungai. Ji-hwa hanya terkekeh melihat tingkah gadis yang mungkin kini telah menggantikan posisi Han Je-sang di hatinya. Sementara Se-ri masih terus melempar batu-batu kecil itu. Sebenarnya ia tidak memercayai ucapan pria itu yang dirinya anggap sebagai mitos. Akan tetapi daripada bersedih terus menerus lebih baik ia melakukan itu.

Ji-hwa mungkin percaya pada mitos tersebut. Pria itu orang Joseon yang hidup di zaman dinasti dan belum mengenal modernisasi. Se-ri melirik pria itu lalu ia tertawa geli saat membayangkan dirinya jatuh cinta kepada seorang kakek tua yang umurnya bahkan sudah berabad-abad.

Tanpa mereka berdua sadari, seorang wanita yang sedari tadi menyaksikan keduanya itu terlihat tersenyum. Bibirnya membentuk senyuman namun matanya menyiratkan kesedihan.

"Kalian pantas bersama."

Yeon-mi melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Ia sudah tidak bisa mempertahankan pernikahannya yang tidak diinginkan oleh pria tersebut. Mulai saat ini ia akan merelakan cinta pertamanya dengan perempuan lain. Ji-hwa bahagia ia pun akan turut bahagia.

~~~

Seorang lelaki dengan pakaian lusuh khas rakyat jelata itu terlihat berjalan melewati beberapa gundukan tanah. Lelaki itu sedang berada di pemakaman anggota keluarga kerajaan. Entah bagaimana caranya seorang rakyat biasa seperti itu bisa memasuki kawasan pemakaman yang khusus untuk para keluarga istana.

Ia menghentikan langkahnya saat sebuah gundukan tanah yang terlihat masih baru itu berada di hadapannya. Itu makam Yi Woo. Lelaki itu meneteskan air matanya karena sudah tak kuasa menahannya. Ia terjongkok saat kakinya sudah tidak mampu menopang berat tubuhnya sendiri. Isakan tangis berhasil keluar dari mulutnya. Tangisnya begitu pilu. Tidak ada siapa pun di sana, hanya ia seorang diri dengan makam-makam anggota kerajaan yang lain dan ditemani kesunyian malam.

Tangannya bergerak lalu mengusap pusara tanah tempat peristirahatan terakhir Putra Mahkota. Tetesan air matanya sedikit demi sedikit membasahi gundukan tanah tersebut dan ia kembali terisak.

"Hyeongnim ..."

Lelaki itu, Yi Seok-won alias Pangeran Dae Joon yang ternyata masih hidup.
























































My Life in JoseonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang