Isi Hati Armin

482 63 7
                                    

Erwin berjalan menuju kamar kelas sepuluh, kamar Armin cukup jauh dengan lapangan, namun ia khawatir kalau anak muridnya itu menghilang tiba-tiba seperti yang dilakukan Levi saat ia hampir kabur dari sekolah ini.

Akhirnya Erwin sampai di kamar Armin, ia mengetuk pintunya selama berkali-kali, namun tidak ada jawaban dari dalam sana, Erwin kembali mengetuk.

"Armin, kamu didalam?" Akhirnya ia bersuara, ia kembali mengetuk hingga akhirnya pintu dibuka oleh anak tersebut.

"Armin.." ucap Erwin, menatap anak dihadapannya yang tampak berantakan, rambutnya acak-acakan dan kedua matanya sembap.

"Armin, kamu menangis?" Tanya Erwin. "Kamu kenapa?" Tanyanya, memegangi kedua bahu Armin dan menatap wajahnya yang memerah.

"Tidak apa-apa.." jawabnya, namun Erwin tahu kalau anak itu sedang tidak baik-baik saja.

"Boleh saya masuk?" Tanyanya.

Armin hanya mengangguk, lalu Erwin masuk dan menutup pintu, ia duduk di kursi belajar yang ada disana, sedangkan Armin duduk di atas ranjang sambil menatap Erwin.

"Ada apa? Tumben sekali Pak Erwin kemari?" Tanyanya.

"Kenapa tidak ikut pesta?" Tanya Erwin balik.

Armin awalnya bingung harus menjawab apa, akhirnya ia menjawab sekenanya. "Saya sedang tidak enak badan.."

Erwin mengangguk, lalu sejenak keadaan kembali hening, Erwin teringat ucapan Mike yang mengatakan bahwa Armin menyukainya, kalau itu benar, Erwin sungguh tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.

"Armin.." panggil nya, yang membuat anak itu menatap padanya. "Bento yang kemarin kamu berikan pada saya.. bentuknya sangat lucu.." ia tertawa kecil, membuat Armin tersenyum mendengarnya.

Bento yang Armin berikan waktu itu berbentuk kucing Elio milik Erwin, namun keadaan kembali hening setelah Erwin mengatakan itu, keduanya tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

Karena Erwin juga tidak tahu harus bicara apa, ia malah bersenandung kecil.

Lalu ia menatap Armin yang kini sedang menatapnya.

"Armin, kamu tidak apa-apa kan?" Tanya Erwin sekali lagi.

Armin menunduk. "Kenapa Pak Erwin peduli?"

"Tentu saja saya peduli, saya itu guru kamu, dan kamu murid saya.."

Jawaban itu bukanlah jawaban yang di inginkan Armin, mendengar jawabannya saja sudah merasa bahwa dirinya tidak sepesial di mata Erwin, dia hanyalah muridnya dan Erwin adalah guru nya.

"Maaf.." ucap Armin. "Mungkin saya terlalu berharap, tapi jika terus di ingat memang sangat menyakitkan ya?" Ujarnya sambil memegangi dadanya.

"Kamu mau bercerita? Tentang apa saja, saya yang akan mendengarkan" ucap Erwin sambil tersenyum ke arahnya.

"Pak.. apa kamu benar-benar sudah punya pacar?" Tanyanya takut-takut, namun Erwin masih tersenyum padanya, lalu ia mengangguk.

"Ya.. saya punya" jawabnya.

"Siapa?" Tanya Armin tidak percaya, karena Erwin tampak jujur dalam mengatakannya.

"Levi" jawabnya. "Levi Ackerman"

Armin membulatkan bola matanya. "Le-levi? Tapi dia.. anak muridmu" ucapnya dengan suara yang hampir berbisik.

Erwin mengangguk. "Saya tahu itu, tapi cinta itu memang buta Armin, karena kita tidak tahu kepada siapa hati kita akan di jatuhkan, entah pada teman, sahabat, guru, murid atau siapapun.. tidak ada yang tahu"

Lukisan Terakhir [ ERURI ] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang