Sudah selayaknya anggota keluarga berkumpul atau sekadar beristirahat di rumah saat memasuki akhir pekan.
Ini hari Minggu dan sudah tiga kali berturut-turut Adiba selalu punya agenda sejak menikah.
Sebenarnya Alan tidak mempersoalkan itu. Bagaimanapun, sebelum menikah Adiba pernah menjelaskan aktivitas hariannya dan mengenai adanya potensi untuk tetap berlanjut walau telah berganti status.
Masalahnya, mereka tidak hanya tinggal berdua. Sesekali mungkin wajar, tetapi bila terjadi berulang kali, tentu akan menarik perhatian pihak lain.
Seperti pukul delapan pagi ini, misalnya. Begitu Alan kembali dari mengantar Adiba ke kampus, Bu Nesa langsung memberondong dengan sejumlah pertanyaan.
"Nak," panggil wanita paruh baya itu ketika Alan memasuki dapur, hendak mengambil air minum.
"Iya, Bu?"
"Baru pulang dari mengantar Adiba?"
Alan bergeser ke arah meja makan, menarik sebuah kursi, lalu duduk di atasnya. "Benar," ucapnya dan dilanjutkan dengan meneguk air mineral.
Bu Nesa mengaduk wajan beberapa kali sebelum mematikan kompor gas. Dia mengambil tutup panci lalu meletakkannya di atas wajan tersebut.
Tubuhnya berputar dan dengan langkah mantap mendekat ke arah sang putra, menarik kursi persis di sisi Alan. "Setelah ini, kamu nggak ada kegiatan?"
"Rencananya mau main futsal sama teman-teman, sih, tapi nanti. Mungkin habis salat Asar."
"Kalau boleh tahu, Adiba ada kegiatan apa di luar?"
Alan meletakkan gelas ke atas meja hati-hati. "Diundang jadi moderator diskusi. Semacam kegiatan mahasiswa."
"Lho, kan dia sudah lulus, kenapa masih terlibat kegiatan mahasiswa?"
Alan mengulum senyum simpul. "Adiba kan berprestasi waktu kuliah, Bu. Bukan cuma dapat beasiswa, dia juga menang beberapa lomba karya tulis dan aktif di organisasi keagamaan," terangnya sarat rasa bangga.
"Jadi, kalau aktif, sering diundang isi acara?"
"Selama topiknya sesuai dengan keahlian Adiba, iya, kurang lebih begitu."
Ini bukan momen pertama Adiba diajak mengisi acara sesama mahasiswa. Dahulu sebelum lulus kuliah, namanya beberapa kali terpampang di poster promosi agenda tertentu. Tidak melulu soal keagamaan, kadang kala organisasi intra non-agama juga turut mengundangnya.
Bisa dibilang, Adiba adalah potret mahasiswa aktivis dakwah yang inspiratif.
Cantik, cerdas, dan bermanfaat bagi sesama. Jarang ada orang yang mampu menolak pesona Adiba. Betapa beruntungnya Alan bisa menikahi perempuan itu.
"Kamu nggak masalah sama semua aktivitas dia?" tanya Bu Nesa masih penasaran.
"Nggak. Bu. Kami sepakat untuk saling membebaskan. Kenapa memangnya?"
Bu Nesa menggeleng. "Bukannya Ibu mau ikut campur, tapi rasanya sedikit aneh melihat perempuan masih sangat aktif di luar rumah, padahal punya suami."
Alan mengernyit sesaat. "Santai saja, Bu. Alan rida kok. Lagi pula, Adiba juga nggak melalaikan tugas utamanya sebagai istri, kan?"
"Begitu, ya? Ibu cuma berharap kita bisa kumpul-kumpul di akhir pekan. Aul, kamu, Ibu, dan ditambah Adiba. Setelah kalian menikah, dia selalu punya acara pas hari Minggu."
Alan mengangguk mantap. Dia paham maksud ibunya. Itu merupakan bentuk keinginan untuk menjadi lebih akrab bersama menantu.
"Oh iya, Ibu boleh minta tolong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...