1. Izin

1.5K 134 43
                                    

Alan mengetuk sebuah pintu kamar bercat cokelat. Harap-harap cemas menanti respon. Dia tertunduk memandangi lantai.

Pintu kayu berderit. Alan mendongak. Senyumnya merekah menyapa seorang wanita paruh baya.

"Alan mau bicara, Bu," tukasnya berusaha kalem.

Bu Nesa membuka pintu lebih lebar. Mempersilakan Alan masuk secara tidak langsung. Pasangan ibu dan anak itu memilih duduk di tepi ranjang.

"Alan mengganggu?"

"Enggak. Ibu baru selesai menjahit baju adikmu. Ada apa, Nak?"

Alan berdehem, "Hanya ingin mengobrol. Akhir-akhir ini Alan sering sibuk sendiri."

Bu Nesa tersenyum bijak. "Kami, Ibu dan adikmu, maklum. Sekarang terlihat hasilnya, 'kan? Kamu bisa lulus lebih cepat."

Alan mengembuskan napas lega. Urusan ini tampaknya tidak akan sesulit yang dia bayangkan. Tidak seharusnya dia gugup.

Benar kata sang ibu, usahanya membuahkan hasil. Seluruh keletihannya terbayar. Dia menamatkan studi tepat di semester ketujuh.

Tantangan baru tentu menanti di depan mata. Fase kehidupan yang lain terbuka. Meraih gelar sarjana tak berarti waktunya bersantai ria.

Alan untungnya telah membuat perencanaan yang matang. Dia tidak perlu kebingungan selepas wisuda kelak.

"Bu, Alan mau menikah."

Bola mata Bu Nesa agak melebar. Dia terkejut, tetapi dengan cepat menormalkan ekspresinya. Terlalu tiba-tiba. Putranya tak pernah membahas perihal romantisme sebelumnya.

"Sudah punya calon?"

"Sudah."

Bu Nesa semakin terkejut. Seingatnya Alan tak memiliki pacar. Perempuan di sekitar putranya dapat dihitung jari.

Lelaki itu mulai membatasi diri dalam bergaul dengan lawan jenis sejak lima tahun yang lalu. Alan fokus belajar dan membantu pekerjaannya sepeninggal sang ayah.

Bu Nesa termenung agak lama. Mengingat ulang data-data perempuan yang sekiranya berpotensi untuk menjadi menantunya.

"Anna?"

Alan meringis. Percampuran antara merasa geli dan menyesal. Dia menggeleng. "Teman kuliah."

Bu Nesa memengembuskan napas pendek. Dia tak keberatan, tentu saja. Tidak baik menghalang-halangi orang yang hendak menikah. Namun, terbersit sedikit keraguan di benak.

"Kamu baru lulus. Wisuda dua bulan lagi. Belum punya penghasilan tetap. Dia mungkin nggak masalah, tapi bagaimana dengan keluarganya?"

"Ya, makanya diusahakan dulu," sahut Alan santai.

"Coba pertimbangkan ulang. Apa kamu siap menanggung seluruh konsekuensi? Menikah adalah proses menyatukan dua keluarga besar."

Alan mengangguk paham. Ibunya belum mengizinkan. Tak apa. Dia akan mencoba lain kali.

Lelaki itu bangkit. "Ya sudah, Alan pamit kalau begitu. Ibu jangan tidur larut malam."

Bu Nesa menyorot serba salah. Ketiadaan gurat kecewa di wajah putranya, sungguh membuat khawatir. Alan terlihat santai seperti biasa. Susah menebak apa yang dia pikirkan.

Alan mencium tangan Bu Nesa takzim. Tanpa membuang waktu, dia bergegas keluar. Melangkah menuju kamarnya sendiri.

Tampaknya Alan harus memikirkan strategi untuk meyakinkan sang ibu, sekaligus mendapatkan penerimaan dari keluarga gadis incarannya.

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang