Adiba refleks menghela napas amat pelan ketika mendapati Anna berdiri di depan pintu. Beberapa detik lalu dia buru-buru menuju ruang tamu dari dapur karena mendengar ada orang yang mengucap salam.
“Mau nganterin makanan,” kata gadis di hadapannya sambil mengangkat sebuah wadah berbahan aluminium.
Adiba membisik kalimat istigfar dalam hati. Perasaannya masih saja tidak nyaman melihat Anna. “Makasih, Mbak,” sahutnya sambil menerima pemberian tersebut.
Hening selama beberapa saat. Anna masih berdiri di depan pintu, sedangkan dia juga merasa enggan untuk membiarkannya masuk ke rumah. Ingin hati segera menutup akses di antara mereka, tetapi mengurungkan niat setelah teringat bagaimana kebiasaan masyarakat setempat berbasa-basi.
“Mampir dulu, Mbak,” ujar Adiba agak berat.
Anna mengulum senyum. “Makasih, Mbak, udah malam. Aku pamit dulu, ya.”
Adiba hampir saja mengembuskan napas lega ketika mendapati Anna pergi meninggalkan rumah mereka. Dia menggeleng, mencoba mengusir rasa tidak nyaman. Tidak seharusnya berpikiran buruk terhadap tamu.
Adiba memutar langkah menuju ke dapur, mengintip ke dalam wadah yang dibawa oleh Anna. Aroma rendang langsung menguar dari balik tutup wadah aluminium itu. Adiba merapatkan bibir, selalu seperti ini. Anna tahu betul apa yang disukai oleh Alan.
Bagaimana gadis itu bisa sangat percaya diri memberikan perhatian secara terang-terangan kepada suami orang? Bukankah Alan sudah berlaku tegas terhadapnya? Haruskah Adiba turun tangan langsung untuk menegurnya?
Tidak, itu akan membuat dirinya tampak konyol. Tidak menutup kemungkinan Anna berkelit bila dikonfrontasi langsung. Lalu, apakah tepat untuk terus diam saja seperti sekarang?
Namun, jika memilih tetap diam, Anna seolah senantiasa punya cara untuk terlibat dalam kehidupan mereka. Dia jadi kesal sendiri setiap kali mengingatnya. Adiba mengembuaskan napas kuat seraya meletakkan wadah berisi rendang ke atas meja.
“Hei, kenapa kelihatan muram gitu?”
Dia tersentak, buru-buru menoleh. Rupanya ada Alan di sana dengan atasan baju koko berwarna krem dan sarung bermotif kotak-kotak. Lelaki itu baru saja pulang dari masjid sehabis salat Isya.
“Oh, kamu udah pulang,” ujarnya pelan sambil menyalami sang suami.
“Ada masalah?”
“Enggak,” sahut Adiba singkat, enggan membahas soal Anna kepada Alan.
Alan mendekat mengulurkan tangan menyentuh kedua pipinya, sedikit menarik lalu berucap, “Senyum kalau gitu.”
Adiba memukul pelan punggung tangan suaminya. “Ugh, sakit.”
Alan melepaskannya. “Apaan tuh?”
Adiba menoleh ke samping. “Rendang, tuh, dari tetangga.” Alan sontak menatap dirinya agak lama. “Apa?”
Lelaki itu menggeleng. “Udah salat?”
“Ini baru mau salat,” tukasnya datar, lalu pergi meninggalkan dapur.
*
Apa yang harus dia lakukan pada Anna?
Kiriman makanan tempo hari bukan yang terakhir kali. Anna masih sering mengirimkannya makanan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tentu dia memilih tidak memakannya dan berakhir menjadi santapan Andrew dan Rein.
Alan mengusap wajah. Apa perkataannya kala itu dianggap bercanda? Haruskah dia berlaku lebih tegas lagi agar berhenti didekati?
Akibat perilaku Anna, mood Adiba lebih mudah berubah. Alan jadi merasa agak dongkol.
Dia melangkah mendekati dispenser karena hendak mengambil minuman. Setelah dahaganya hilang, Alan berjalan ke arah kamar. “Dek?” panggilnya hati-hati, tetapi rupanya tidak ada seorang pun di dalam sana. Adiba mungkin masih di kamar mandi.
Alan berjalan mendekati ranjang, duduk di bagian tepi setelah mengambil ponsel di atas nakas. Masalah ini harus segera selesai jika tidak ingin situasinya jadi lebih buruk. Dia membuka WhatsApp, lalu mencari kontak Anna.
Alan Pranata: Mbak, aku harus ngomong berapa kali? Stop ngasih perhatian nggak perlu ke aku.
Tidak butuh waktu lama. Pesannya langsung berbalas.
Anna: Lan, aku tahu kamu masih suka aku. Buktinya kamu langsung jemput aku waktu itu.
Alan Pranata: Itu karena sampean sakit. Aku cuma khawatir sebagai tetangga, nggak lebih. Aku salah karena nggak mikir kalau tindakanku bisa bikin salah paham gini.
Alan memilih membalas menggunakan bahasa Jawa, ingin memperjelas status mereka sebagai tetangga. Sama saja seperti tetangganya yang lain, tidak lebih, tidak kurang.
Anna: Oke, paling nggak biarin aku tetap ngasih perhatian sampai bisa move on. Aku sayang kamu, Lan.
Alan beristigfar. Kenapa Anna jadi berubah aneh begini?
Alan Pranata: Makasih, tapi lebih baik sampean nyari objek perhatian lain. Istriku nggak suka dan aku nggak mau bikin dia sedih. Jangan hubungi aku lagi. Kalau mau ngasih sesuatu sebagai tetangga, bisa lewat Andrew atau Tante. Kalau sampean benaran peduli, seharusnya nggak bikin aku kesulitan gini. Aku berdoa semoga sampean segera berjodoh dengan yang lain.
Centang biru. Hening, tidak ada tanda-tanda Anna akan membalas. Alan mengembalikan ponselnya ke atas nakas. Semoga Anna tidak muncul kembali dan membuatnya pusing.
Tidak lama kemudian, pintu berderit, Adiba masuk. Alan memperhatikan dalam diam. Perempuan itu mengambil mukena pada gantungan di balik pintu beserta sajadah.
“Dek, boleh ngomong bentar?”“Aku mau salat.”
“Bentar aja. Sekarang kamu lagi kepikiran sesuatu, ‘kan? Daripada salatmu terganggu, mending kita ngomong sekarang,” ujarnya sembari menepuk-nepuk kasur di sisinya, isyarat meminta Adiba duduk.
Adiba tidak menolak dan langsung berjalan mendekatinya. Dia baru akan bicara ketika ponsel di atas nakas berdering – pertanda ada telepon masuk.
Mereka sontak sama-sama menoleh. Nama Anna tertera jelas pada layar smartphone.
“Mau ngomong apa? Pamer kalau kamu diam-diam kontakan sama dia?”
“Astagfirullah, Dek.” Alan geleng-geleng kepala. Dia pernah mendengar selentingan kalau seorang istri bisa menjadi sangat menyeramkan saat cemburu. Alan pikir itu hanya lelucon belaka, tetapi sekarang sadar betul bahwa kabar tersebut sungguh mewakili realita. “Nih, baca sendiri chat-nya biar kamu nggak marah mulu.”
“Siapa yang marah?”
“Iya deh, nggak marah, tapi cemburu.”
Adiba mendelik padanya, dia hanya terkekeh kecil.
-TBC-
27 April 2022
![](https://img.wattpad.com/cover/199597743-288-k262715.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Espiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...