4. Lamaran

198 38 19
                                    

Riuh lalu-lalang orang memadati kampus di akhir pekan. Pedagang asongan, penjual suvenir di pinggir jalan, serta stan studio foto mini menjadi pemandangan yang lazim siang itu.

Acara seremonial yang dinanti-nanti oleh seluruh mahasiswa tengah berlangsung. Ada yang memang menjadi pelakon utama, mengunjungi kawan, atau sekadar memanfaatkan peluang bisnis.

Ribuan alumni berbondong keluar dari auditorium utama kampus. Berdesakan dengan para pengantar.

Senyum kebanggaan orang tua, sorot lelah para wisudawan, ekspresi lega bercampur resah, terlukis jelas di wajah hampir setiap orang.

Adiba menghirup udara dalam-dalam begitu menginjakkan kaki di halaman gedung. Tangan kanannya memegang sebuah toga, sedangkan yang kiri menggandeng sang ibu. Dia celingak-celinguk memastikan keberadaan rombongannya. Alvarendra berjalan di belakang mereka.

"Abel!" seru Adiba saat menemukan Abelyn beserta orang tuanya duduk lesehan beralaskan karpet di bawah pohon sawo.

Alvarendra tersenyum simpul ketika pandangannya bertemu dengan manik mata Abelyn. Perempuan itu belum juga menuntaskan tugas akhir karena dosen pembimbing yang belakangan sulit ditemui.

"Assalamu'alaikum, Pak," sapa seseorang dengan nada sopan.

Alvarendra berhenti. Dia menoleh. Alisnya sontak terangkat ketika menemukan Alan di belakangnya. "Wa'alaikumussalam."

"Maaf mengganggu, boleh bicara sebentar?"

Alvarendra melirik Adiba dan ibunya. Kedua perempuan itu mengangguk singkat sebelum meneruskan langkah.

Mereka menyingkir, mencari tempat yang cukup kondusif untuk berbicara. Di dekat air mancur penghias taman. Tak jauh dari pusat keramaian.

"Selamat, Lan. Sukses untuk ke depannya." Alvarendra mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.

Alan mengangguk mantap. "Terima kasih, Pak. Semoga Anda dan keluarga sehat-sehat. Terutama calon adik bayi dan ibunya."

Alvarendra menyeringai tipis seraya memasukkan tangan ke dalam saku celana. "Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan? Saya yakin bukan tentang anak dan istri saya."

Alan menelan ludah. Berusaha menyembunyikan kegugupan. Dia sudah susah payah meminta izin kepada keluarganya hingga sampai ke titik ini.

"Alan Pranata. Anak pertama dari dua bersaudara. Ayah meninggal saat saya masih SMA. Belum berpenghasilan tetap, namun saya punya usaha percetakan dengan beberapa teman. Selain itu, keluarga saya mengelola toko bahan kue.

"Alasan saya sering terlambat kuliah karena harus mengantar ibu ke toko setiap pagi. Adik saya baru masuk SMA dua tahun yang lalu. Kami hanya tinggal bertiga di rumah. Apa profil saya cukup layak untuk mendaftar jadi adik ipar Anda?"

"Jika hanya seperti itu, lantas apa yang kamu tawarkan untuk Adiba? Apa yang membuatmu berbeda? Saya butuh pertimbangan lain."

"Insya Allah kesamaan visi," sahut Alan kalem.

"Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?"

Alan bergeming.

Alvarendra menepuk pundak Alan dua kali. "Saya apresiasi keberanianmu. Setelah menemukan jawabannya, silakan temui saya lagi. Itu pun kalau kamu belum menyerah."

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang