Adiba, Alan, dan Milda bertemu di salah satu cafe kekinian yang banyak disinggahi oleh kalangan mahasiswa. Selain lokasinya lebih dekat dengan kampus, suasananya pun lumayan adem untuk bertemu pada siang hari seperti sekarang.
Meskipun hawa di Kota Malang secara umum cenderung sejuk, tetapi suhu 32 derajat Celcius siang itu lumayan menyengat ketika berlama-lama di bawah pancaran sang surya.
"Kamu kenapa lagi, sih? Kok mukanya kusut gitu?" Alan yang membuka pembicaraan sambil menunggu pesanan mereka tiba.
Milda tampak menarik napas panjang. "Aku pernah cerita kan ya, kalau mama sama papa pengen ngejodohin dengan anak teman mereka?"
Alan dan Adiba saling melirik. Itu cerita beberapa bulan lalu, yang tampaknya mereka dengar secara terpisah karena belum resmi menjadi pasangan suami istri.
"Terus?"
"Salah satunya nggak mau karena menurutnya aku jelek," tukas Milda sambil mengangkat bahu ke atas. "Dia ngomong gitu secara tersirat."
Terus terang, Milda tidak terlalu merasa sakit hati. Penilaian seperti itu sudah menjadi hal yang sering dia terima dengan kondisi berat badan berlebihan. Benar, dia tidak mengikuti perintah orang tuanya untuk diet sejak beberapa bulan lalu.
"Sebenarnya nggak gitu mengejutkan. Tapi tahu nggak, apa yang bikin aku kaget?"
Alan dan Adiba menunggu, membiarkan Milda mengeluarkan segala keluhannya.
"Yang nolak aku adalah anak teman papa. Sementara anak teman mama, dia setuju."
"Lalu? Kamu juga setuju?" timpal Alan cepat.
Milda menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Aku ragu."
"Kamu ada rasa sama dia?" Giliran Adiba yang bersuara.
"Justru itu, ngomong-ngomong, kalian kenal orangnya kok."
Fakta inilah yang membuat Milda galau perihal menerima perjodohan orang tua mereka atau menolaknya. Gadis itu memiliki perasaan terhadap laki-laki yang dikenalkan padanya. Hanya saja, dia merasa tidak pantas dengan kondisinya sekarang.
Milda khawatir, pernikahan mereka hanya akan mencoreng nama baik si laki-laki.
"Karena masalah fisik?" tukas Adiba memastikan setelah mendengar penjelasan Milda.
Gadis itu mengangguk membenarkan. "Kalian tahu, dia adalah Pak Revan."
"Ya?!" seru pasangan pengantin baru itu kompak. "Dosen kita?"
Lagi, Milda mengangguk. "Dia bilang nggak masalah untuk kenalan dulu."
"Ya udah, kalau sama-sama setuju, dijalani aja."
"Ih, kamu nggak bakalan ngerti kegalauan cewek!" sahut Milda agak kesal. Tampak dari matanya yang mendelik ke arah Alan.
Adiba menahan senyum. "Kamu sendiri maunya gimana?"
Milda terlihat merenung sejenak. "Menurutmu, aku pantas sama dia nggak?"
"Pantas atau nggak kan yang memutuskan kalian berdua." Alan sekali lagi menyeletuk asal.
Adiba mencubit pinggang Alan ringan, membuat lelaki itu menoleh ke arahnya. "Pantas kok."
"Apa sih yang buat kamu ragu? Kamu udah jadi fans Pak Revan dari dulu, ya, selain Mas Alva. Sekarang kamu punya kesempatan untuk dekat dengan dia. Masalahnya di mana?"
"Duh, Dib, suamimu ini bikin greget, ya!"
Adiba tersenyum ringan. "Alan benar. Kalau soal fisik, kan bisa diatur?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...