2.1 Idealisme

219 39 44
                                    

Junior Adiba di organisasi telah pulang ketika Alvarendra tiba di rumah. Hal pertama yang Alvarendra lakukan adalah memeluk Abelyn dan mengusap rambut Adiba. Dia menunjukkan afeksi dengan level berbeda untuk kedua perempuan itu.

"Bel, kayaknya asyik kalau aku nambah satu lagi buat nemanin kamu," ucap Alvarendra santai.

Mereka melangkah ke arah ruang keluarga. Tempat istirahat pertama setelah lelah beraktivitas seharian di luar. Usai menikahi Abelyn, ruangan di rumah itu menjadi lebih elegan tanpa menanggalkan sisi kenyamanan.

"Mau aku panasin air, nggak?" sahut Abelyn lempeng.

"Buat mandi?"

"Bukan, tapi buat guyur Kakak kalau berani nambah personil."

Alvarendra tergelak, pun Adiba. Gadis itu geleng-geleng kepala. Tak habis pikir akan absurditas dua pasangan ini.

"Kalian ekstrem banget."

Abelyn dan Alvarendra saling tatap. Mereka mengulum senyum amat tipis. Adiba tak tahu, bahwa di masa lalu mereka bahkan pernah terlibat perseteruan fisik sesungguhnya.

Ah, tapi Adiba tak perlu tahu, pun orang lain. Biarlah menjadi rahasia mereka. Kenangan yang mengantarkan keduanya pada situasi penerimaan telak seperti sekarang.

"Ya udah, aku panasin air dulu. Kakak tunggu di sini aja. Nanti aku panggil." Abelyn memilih tak menanggapi. Dia segera berlalu dari sana.

"Jangan pergi dulu, Dek. Ada yang mau aku bicarakan," ujar Alvarendra, menghentikan niat Adiba.

Gadis itu menoleh, menyorot penasaran. Adiba mengikuti gerakan Alvarendra. Mereka duduk di lantai dan berhadapan.

"Aku langsung aja, ya." Alvarendra membuka ranselnya, mengeluarkan sebuah map berwarna cokelat. "Titipan dari teman. Dia pernah lihat kamu pas bertamu ke sini. Seniorku di organisasi waktu kuliah."

Adiba mengernyit sesaat. Ragu, dia menerima map tersebut. Mengintip isinya sedikit. Curriculum vitae seseorang. Dia melakukan pemindahan cepat. "Balikin aja," ujarnya tanpa pikir panjang.

Alvarendra mengangkat sebelah alisnya. Tidak yakin bahwa adiknya telah selesai membaca. "Belum siap?"

"Enggak sesuai kriteria."

"Yang benar? Belum dibaca juga."

Adiba menyengir. Dia menengadah, menatap tepat ke manik mata sang kakak. "Baik agama dan akhlaknya, mendukung penegakan syariat Islam dalam suatu institusi, anak sains, good looking."

Alvarendra mengangguk-angguk. Memasukkan amplop itu lagi ke dalam ransel. "Kurang anak sains, ya? Punya pakem ternyata. Ya udah, semoga dimudahkan. Fokus aja perbaiki diri."

Adiba membuat pose hormat. "Siap!"

"Oh, iya, kapan kamu wisuda?"

"Mungkin Februari. Semoga kuotanya masih cukup. Besok mau ngelengkapin berkas-berkas yudisium."

Adiba menarik napas lambat. Lelah sendiri bila mengingat betapa ricuh melakukan penjajakan akhir studi. Harus mengurus aneka administrasi. Pindah dari satu gedung ke gedung lain hanya untuk sebuah tandatangan dari para petinggi.

Dia telah mendengar cerita dari beberapa kawan seperjuangannya yang selesai lebih dulu. Hanya dengan membayangkan saja, Adiba sudah merasa berat.

"Makan yang banyak, ya. Kamu butuh tenaga ekstra untuk mondar-mandir nyari pejabat kampus."

Adiba memasang tampang cemberut. "Abel tuh, diperhatiin. Dia butuh motivasi tambahan buat nyelesaiin skripsi."

"Tentu, makasih atas perhatiannya."

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang