Genap dua minggu Adiba dan Alan menjalani status sebagai pasangan suami istri. Seperti yang telah disepakati di awal perkenalan, mereka memutuskan untuk tinggal di kediaman orang tua Alan. Ada Aulia, juga sang ibu bersama mereka.
Selama pekan pertama dan kedua menjadi seorang istri, Adiba rupanya mengalami sedikit kesulitan. Dia tidak serta-merta mampu beradaptasi terutama dengan sejumlah beban yang kini berada di pundaknya.
Senin sampai Kamis sore bertepatan dengan jam pulang para siswa SMA, dia memiliki jadwal mengajar di salah satu bimbel terkenal di Malang. Pekerjaan tersebut sudah ditekuni sejak semester tiga dan masih bertahan sampai sekarang karena upahnya cukup layak.
Dua kali dalam sepekan di Jumat dan Sabtu siang, dia memiliki jadwal mengisi halaqoh adik-adik binaannya. Kemudian lanjut kajiannya sendiri selepas salat Asar. Belum lagi, fakta bahwa rumah musyrifah Adiba terletak di sekitaran Sengkaling ke arah Kota Batu.
Ada kalanya Adiba bahkan kemalaman di perjalanan karena harus tukar angkot agar benar-benar tiba di depan gang rumahnya.
Jika dahulu Adiba bisa pergi bersama teman satu kajiannya yang tinggal di rubin, hal itu kini sulit untuk dilakukan.
Pasalnya, dia tidak ingin merepotkan temannya karena jarak rumah ini dari rubin cukup jauh dan berlawanan arah. Kemudian, tidak mudah pula bila harus memanggil adik-adik binaannya ke sini karena merasa sungkan.
Bagaimanapun juga, Ada ibu dan Aulia yang sudah lebih dahulu menjadi penghuni tetap. Belum tentu mereka terbiasa dengan budaya halaqoh yang membutuhkan waktu sekitar 1 hingga 2 jam.
Lalu, apa kabar peran Alan? Kenapa lelaki itu tak mengantarnya?
Alan ternyata tidak kalah sibuk. Pagi hingga siang lelaki itu akan mengurus usaha percetakan dengan teman-temannya. Sering kali dia juga akan mengantar dan menemani sang ibu menjaga toko kue, sementara Aulia sedang kuliah.
Ditambah lagi Alan juga harus mengikuti halaqoh rutin, dan kebetulan sekali, jadwal mereka pada agenda ini nyaris berbarengan. Alan berangkat halaqoh dari lokasi percetakan atau toko kue. Sulit untuk kembali ke rumah lalu mengantar Adiba karena tujuan mereka pun bahkan tidak searah.
Bisa dibilang, ritme hidup ibu, Aulia, dan Alan sudah sinkron satu sama lain. Dialah yang datang sebagai variabel tambahan sehingga perlu usaha ekstra untuk menyesuaikan diri terhadap kebiasaan mereka.
Di rumah ini ada dua motor. Satunya milik Aulia, sisanya dipakai Alan ke mana-mana. Jika kebetulan Aulia sedang tidak ada kesibukan di luar, Adiba akan meminjam kendaraan tersebut. Namun, situasi ini pun jarang terjadi sebab Aulia lebih sering langsung berangkat ke toko kue selepas kuliah.
Singkatnya, waktu untuk benar-benar berkumpul bagi mereka adalah di malam hari selepas salat Isya.
"Kiri, Pak!" Adiba sedikit berteriak ketika sadar angkotnya sudah mendekati gang menuju ke rumah.
Dia tidak bisa berhenti di depan halaman mengingat lokasinya masuk gang dan tidak dilalui angkot secara langsung.
Adiba menyerahkan selembar lima ribuan sembari mengucapkan terima kasih. Kemudian, langkah kakinya dipercepat menyusuri sebuah gang agak sempit. Tujuannya berada di ujung sana, terpaut sekitar 8 meter dari pinggir jalan raya.
Azan Magrib sudah terdengar sekitar 10 menit yang lalu. Adiba agak kemalaman karena harus menunggu angkot setelah meninggalkan kediaman musyrifahnya.
Teman kajiannya sebenarnya sering menawarkan diri untuk mengantar pulang, tetapi segera ditolak. Alasannya karena tujuan akhir mereka berlawanan arah, temannya harus kerja dua kali jika nekat mengantar. Di lain pihak, rubin juga mengadakan agenda rutin setiap selesai Magrib.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...