Anna datang lagi, kali ini membawa menu lain.
Adiba tidak habis pikir, kenapa harus gadis itu yang mengantarkan makanan? Bukankah ada Andrew selaku saudaranya?
Memang benar, Adiba sudah tahu bagaimana kisah Anna dan suaminya berkahir, tetapi haruskah seperti ini?
Adiba sungguh merasa aneh melihat keakraban keluarga Alan bersama Anna.
Malam itu, tidak jauh berbeda dari pekan-pekan sebelumnya, mereka memutuskan untuk menonton televisi setelah bercengkerama di meja makan.
Anna kemudian datang membawa buah-buahan yang katanya dibeli langsung dari sebuah perkebunan di Kota Batu.
Aulia, yang pada dasarnya memang dekat dengan gadis itu, menyuruhnya untuk masuk dan bergabung di rumah mereka. Jadilah sekarang formasi bertambah satu orang.
Anna dan Aulia duduk saling berhadapan, tidak jauh dari keberadaan Alan.
Sesekali waktu, tampak gadis itu sengaja mencari kesempatan untuk mengobrol dengan Alan.
"Lan, kerjaan kalian lancar, 'kan? Tadi aku lihat Andrew kayak uring-uringan gitu."
Alan menoleh sejenak, lalu menyahut, "Aman, Mbak. Alhamdulillah."
Adiba tetap diam, memperhatikan dengan tenang.
"Stres skripsian kali, Mbak, kan sohibnya udah lulus duluan," sahut Aulia.
"Gitu?"
"Mas Andrew jadi nyebalin kalau lagi uring-uringan, ya?" timpal Aulia sambil terkikik.
"Bukannya menurutmu dia selalu nyebalin?" Alan menyahut cepat.
Mereka, Anna, Aulia, dan Alan lalu tertawa kecil, disusul Bu Nesa. Tidak lama setelahnya, keempat orang itu tenggelam dalam obrolan yang terdengar mengasyikkan.
Tentu saja, Adiba seketika merasa asing. Ada banyak hal yang tertinggal dari kisahnya. Dia satu-satunya yang tak terhubung langsung di sini.
Adiba sekadar mendengarkan sambil sesekali melirik Alan, berharap agar laki-laki itu peka terhadap keadaannya.
"Eh, Mbak Adiba kok diam aja," tukas Anna tiba-tiba.
Perkataan tersebut tak pelak membuat seluruh pasang mata tertuju padanya. "Huh? Ah, iya, hehe."
Hanya reaksi canggung yang terdengar. Bagaimanapun, Adiba kehilangan koneksi sehingga sulit untuk turut terlibat. Apa yang harus dia katakan?
"Ya, Mbak Adiba kan emang pendiam," timpal Aulia.
Adiba sedikit gelagapan. Tidak, dia bukan orang yang pendiam.
"Masa? Nggak ah, ceriwis gini kok." Alan mencubit puncak hidung Adiba yang mancung.
Aulia mencibir heboh. "Benar kok! Jarang ngobrol sama Aul dan Ibu."
"Oh, itu sih, karena sering keluar aja. Ya, kan, Dib?" Alan mencoba mengkonfirmasi, yang langsung disambut anggukan oleh Adiba.
"Emang Mbak Adiba sering ke mana?"
Harusnya pertanyaan Anna biasa saja, selayaknya basa-basi umum.
Wajar pula baginya untuk sekadar melontarkan kalimat tanya, tapi tunggu, kenapa nadanya terdengar kurang menyenangkan?
Apakah ini hanya perasaan Adiba?
"Biasa, Mbak, kegiatan kajian, ngajar, dan lain-lain." Adiba mencoba menyahut seadanya.
"Wah, seru dong?"
"Mau ikut?" tukas Alan simpel.
Anna menyengir. "Kalau sama kamu, boleh deh."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...