10.1 Bincang

53 21 3
                                    

Adiba masih diam, Alan jadi agak bingung. Bukannya melanjutkan tidur siang, wanita itu hanya berbaring sambil memainkan HP. Dia bahkan terlihat sengaja memunggungi Alan.

Apakah ada masalah? Alan merasa beberapa menit lalu mereka masih baik-baik saja. Dia menjemput sang istri ke kampus, makan siang bersama Milda, lalu pulang untuk istirahat.

Seharusnya situasinya tidak seperti ini. Kenapa Adiba tampaknya jadi lebih pendiam? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi kini?

"Kok nggak tidur?"

"Nggak ngantuk."

"Hadap sini dong."

"Hm, nanti aja."

Alan mengernyitkan dahi. Tidak biasanya Adiba bersikap cuek begini. Saling mengenal selama empat tahunan membuatnya sedikit paham watak sang istri.

"Aku ada salah?"

Terdengar helaan napas dari Adiba. Wanita itu bangkit, menghadap ke Alan, dan duduk bersila. Tak lama, si lelaki turut serta bangun. Mereka kini saling berhadapan.

"Sebelumnya aku mau minta maaf karena mungkin udah berprasangka buruk. Kita belum pernah bahas ini sebelumnya, tapi, aku ngerasa nggak enak." Adiba sedikit memalingkan muka.

"Tentang apa?"

"Mbak Anna," terang Adiba. Teringat kembali bahwa mereka sudah sepakat untuk berbicara jujur ketika berpikir ada yang keliru. "Kayaknya kamu tahu banget tentang dia. Ah, bukan, aku rasa Mbak Anna sikapnya agak lain ke kamu."

Senyum alan sontak melebar. "Kamu cemburu?"

Adiba menatap tepat ke mata sang suami tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tindakan itu membuat Alan mengelus belakang lehernya sambil berdeham.

"Dia cuma masa lalu."

"Jadi, memang ada apa-apa?"

"Kalau yang kamu maksud di masa lalu, iya. Sekarang cuma tetangga."

"Mantan?"

"Dib, aku rasa kita nggak perlu bahas ini."

"Kenapa? Terlalu banyak kenangan?" cerca Adiba. Ini aneh, tahu bahwa tindakannya kurang tepat. Hanya saja, entahlah, dia merasa sulit menahan diri saat mengingat tingkah Anna terhadap sang suami.

"Nggak penting."

"Nggak penting? Dia suka kamu!"

"Iya, terus?" sahut Alan kalem.

"Terus? Kamu sadar kalau Anna punya rasa?"

Alan menggaruk keningnya. Tentu saja. Hanya orang super cuek yang tidak akan menyadari segala sinyal ketertarikan Anna. Bagi Alan, itu tidak masalah. Urusan hati memang kerap kali rumit dan sulit diatur.

"Ya, emangnya kenapa? Lagi pula, aku kan nikahnya sama kamu." Alan mengedik. "Meskipun masa laluku dengan lawan jenis nggak sebersih kamu, tapi, you know, istriku adalah yang pertama buatku, dalam banyak hal."

Adiba menarik napas agak panjang. "Aku nggak nyaman sama dia. Kalian punya masa lalu yang nggak ada aku di dalamnya. Aku, aku, hah."

Alan bergeser ke depan, mendekati sang istri. "Hei, dengerin aku, kamu nggak perlu khawatir soal itu. Kalau mau, kami bisa aja balikan. Kenyataannya? Aku jatuh hati sama kamu sejak awal-awal kita kenal. Konyol banget kalau aku ngelepasin pilihanku setelah menunggu waktu lama buat bisa bareng kayak gini."

"Kalau dia terus ngedeketin kamu?"

"Dia nggak akan berani berbuat lebih jauh dari ini. Aku kenal Mbak Anna."

"Tapi, aku ingin tahu masa lalu kalian, Mas!"

Alan menggeleng. "Nggak ada yang istimewa. Kami tetanggaan, saling suka pas remaja, lalu pacaran."

"Kenapa berakhir?"

Alan mengembuskan napas pelan. Ini bagian tersulitnya jika mengingat masa lalu. Berakhirnya hubungan dengan Anna sebenarnya sederhana. Dia memilih hijrah. Akan tetapi, alasan utama di balik itu yang sedikit rumit.

"Saat ayah meninggal karena sakit keras, aku nggak sempat melihat detik-detik terakhirnya. Padahal, keluargaku ada di rumah sakit. Waktu itu, Mbak Anna sengaja ngajak aku main ke Batu sepulang dari sekolah. Tujuannya baik, buat menghibur, dan aku pikir memang perlu waktu untuk mengambil napas sejenak. Lagian, kondisi ayah juga kelihatan membaik."

Alan sekali lagi mengembuskan napas. Terus terang, cerita ini agak menyedihkan. Mengingatnya hanya membuka luka lama.

"Selama kami main, dia rupanya diam-diam matiin ponselku, dan ya, ponselnya juga. Sepanjang hari itu aku cukup terhibur. Pas pulang, aku ... ayah ternyata udah meninggal dan jenazahnya sementara diurus petugas medis."

Setelahnya, Alan marah kepada keluarganya karena tidak seorang pun mengabarinya lebih cepat. Siapa mengira, rupanya dia tidak dapat dihubungi karena HP miliknya dalam kondisi nonaktif.

"Awalnya aku nggak tahu kalau ponselku sengaja dimatiin. Kupikir cuma salah pencet karena ditaruh dalam tas. Mungkin tiga atau empat bulan setelah itu, Mbak Anna baru ngaku kalau dia yang matiin. Sepertinya dia merasa bersalah karena ngasih penjelasan sambil nangis." Alan mengusap wajah. Terdiam cukup lama.

Alasan Anna mematikan alat komunikasi mereka karena berharap bisa menikmati waktu dengan bebas tanpa gangguan.

Apalagi, Anna menggunakan jam tangan sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk membuka HP selama asyik bermain, bahkan untuk sekadar mengecek waktu.

Dia pikir, Alan benar-benar butuh hiburan sejenak di tengah rasa sakit yang menimpa diri dan keluarganya.

Tak ada yang bisa menebak bahwa hari itu ayah Alan mengalami serangan jantung, lalu mengembuskan napas terakhir di atas ranjang rumah sakit.

"Aku marah, Mbak Anna terus minta maaf. Tapi, tindakannya aku anggap keterlaluan. Hubungan kami renggang dan berakhir gitu aja. Sampai sekarang, keluarga kami nggak tahu persisnya apa yang bikin semuanya jadi gini. Cuma aku dan Anna, sekarang tambah kamu, yang tahu cerita di balik HP mati itu."

Alan menyayangi Anna, sangat. Oleh karena itu, dia memilih bungkam dari keluarganya.

Cukup dirinya yang tahu tentang tindakan Anna agar si gadis tidak dikucilkan dan dirundung rasa bersalah berkepanjangan.

Setelahnya, hari-hari berlalu seperti biasa. Alan masih menyukai Anna, tetapi tidak ada waktu untuk menjalin hubungan lagi. Dia sibuk beradaptasi mengambil alih tanggung jawab sebagai satu-satunya lelaki dalam keluarga, di samping hati yang belum menerima dengan lapang.

Tahun-tahun berganti amat cepat, menjelang akhir SMA, dia berhijrah, lalu masuk kuliah. Semakin hilang keinginan di hati untuk kembali berhubungan seperti dulu dengan Anna.

Pada waktu yang sama, Alan pun mencoba untuk ikhlas terhadap kejadian kala itu. Baginya, semua sudah merupakan goresan takdir. Lagi pula, Anna pasti sama terguncangnya.

Mereka, di penghujung kesadaran untuk menerima masa lalu, sepakat akan menyimpan rapat-rapat kejadian tersebut.

Siapa sangka, cerita yang telah usai di antara mereka membuat Adiba tak enak hati.

"Maaf."

"Nggak pa-pa. Kurasa kamu perlu tahu."

Adiba diliputi rasa bersalah. Tak mengira ada cerita pahit di balik cinta masa lalu sang suami.

Alan meraih tangan wanitanya. "Masuk kuliah, aku ketemu kamu, lalu jatuh hati," tukasnya, "aku nggak bisa ngatur perasaan orang lain. Yang aku tahu, kamu adalah satu-satunya pendamping hidupku. Sekarang dan semoga sampai ke surga."

Perkataan Alan, meski sesungguhnya terdengar agak menggelikan, tetapi sukses mengundang semu merah di pipi Adiba.

"Aamiin, insyaallah."

-TBC-

Sorry baru update, kemarin lupa. Pas ingat udah keburu malem dan ada acara, gak sempat ngetik, awokwok.

30 Januari 2022.

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang