17. Kehamilan

99 19 6
                                    

Sore ini mereka sepakat untuk menjenguk Abelyn setelah mendengar kabar bahwa HPL ibu hamil itu sekitar 14 hari lagi. Selama menjalani masa kehamilan tua, dia tinggal di rumah orang tuanya.

Terus terang, Adiba excited menanti kelahiran keponakan pertamanya. Penasaran akan bagaimana rupa si bayi nantinya. Lebih dari itu semua, tentunya ikut berharap agar dia lahir dalam keadaan sehat.

“Assalamu’alaikum,” tukas Adiba setelah berdiri di depan pintu rumah Pak Wendra. Tidak butuh waktu lama, benda kotak itu terbuka dan menampakkan Alvarendra di baliknya. “Abel mana?”

“Nggak nanyain kabarku dulu?” protes Alvarendra sambil mengacak puncak kepala Adiba.

Dia hanya menyengir. “Kayaknya lelah banget.” Lelaki ini pasti berusaha untuk selalu siaga selama menanti kelahiran anak pertamanya. “Sehat, Mas Al?”

Alvarendra mencebik, lalu mempersilakan mereka masuk. “Abel di ruang tengah, kamu ke sana aja.”

Adiba tidak lagi mendengarkan obrolan basa-basi Alan dan Alvarendra karena langsung berjalan cepat melewati ruang tamu, berbelok di antara partisi, dan senyumnya melebar saat melihat Abelyn sedang bersandar di kursi malas sambil membaca buku. Rupanya tatanan ruangan ini sedikit dimodifikasi, mungkin menyesuaikan kebutuhan si ibu hamil.

“Assalamu’alaikum,” sapanya ceria.

“Oh, kalian udah tiba,” ujar Abelyn, lalu berusaha menegakkan punggung seadanya namun langsung dihalangi olehnya. “Nggak pa-pa, biarin gitu. Gimana kabarmu?”

“Ya, seperti yang kamu lihat.”

Adiba memindai cepat penampilan Abelyn dari atas ke bawah. Terusan berupa daster menjadi outfit andalannya sejak hamil. Raut lelah di wajahnya tak bisa ditutupi, tetapi dia yakin wanita ini pasti bahagia.

Adiba menjatuhkan diri pada sofa di dekat Abelyn. Dia lantas menatap saksama pada perut sahabatnya yang begitu besar. Ada kehidupan makhluk lain di dalam sana.

“Pegang aja kalau mau,” ucap Abelyn datar.

Adiba mendongak lalu tersenyum sungkan. “Benaran boleh?” Selama ini meskipun penasaran, tetapi dia berusaha menahan diri. Rasanya agak canggung untuk menyentuh perut sahabat sendiri. Dia pun mengulurkan jari telunjuk demi mengenai perut besar Abelyn yang berbalut daster jingga. “Halo.”

Hening agak lama. Selama jeda tersebut, ada perasaan iri yang sempat menyelimuti hatinya. Bagaimana rasanya menanggung kehamilan? Adiba juga ingin melalui fase ini, tetapi sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda bahwa dirinya akan mengandung.

“Kamu boleh sering-sering main ke sini setelah dia lahir, insyaallah.”

Adiba tersenyum tipis. Abelyn seperti mengerti isi hatinya. “Lumayan kan, ada yang bantu jagain nanti.” Dia lantas berdecak setelah mendengar kalimat tersebut.

“Habis lahiran, masih tetap tinggal di sini?”

Abelyn mengangguk. “Kamu ... apa kabar, Dib?”

Adiba mendongak, pandangan mereka bertemu. “Sehat kok.” Abelyn tak menyahut, hanya terus menatapnya. “Apaan?” sambungnya bingung.

“Gimana rasanya nikah sejauh ini?”

“Tiba-tiba?”

Abelyn menggeleng. “Dulu kayaknya kamu pernah nanya aku. Nah, sekarang udah ngerasain sendiri, kan?”

Adiba terkekeh kecil. “Kurang lebih udah paham.”

Rasanya? Nano-nano. Hanya dapat dipahami oleh orang yang telah menikah. Dia bisa bilang bahwa dirinya bahagia, lalu ada kalanya juga merasa terbebani dengan tumpukan masalah dan tanggung jawab baru.

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang