Adiba marah, Alan tahu itu. Dia lebih banyak diam sejak kejadian semalam. Hanya berbicara ketika butuh, lalu sibuk melakukan rutinitas seperti biasa.
Bagaimana cara untuk membuat istrinya tidak marah lagi?
Alan menghampiri Adiba yang sedang merapikan tempat tidur. “Dib,” panggilnya pelan. Adiba menoleh, menatap tak berminat. “Hari ini ke bimbel lagi?”
Perempuan itu hanya mengangguk, lalu kembali lagi menepuk-nepuk seprai. Alan menarik napas pelan. “Aku minta maaf buat yang semalam.”
“Tentang apa?” Adiba menghentikan gerakan tangannya, seolah menunggu untuk mendengarkan penjelasan lebih lanjut.
“Aku salah karena nganter Mbak Anna.”
Adiba menegakkan punggung, kemudian berbalik ke arahnya.
“Nggak perlu minta maaf kalau pada akhirnya diulangi lagi.”
“Nggak akan aku ulangi lagi, janji.”
Adiba menampilkan senyum tipis.“Jawab jujur, kamu masih suka dia?”
Alan memegang bahu Adiba, menatapnya lamat. “Kemarin aku nggak berpikir jernih pas dengar dia sakit. Nggak enak buat nolak. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi sama dia. Aku salah, maaf.”
“Aku pengin kamu tegas ke Mbak Anna. Kamu mungkin nggak suka, tapi dia jelas-jelas punya rasa padamu.”
Alan mengangguk. “Oke,” jawabnya pendek, “sekarang, kamu udah nggak marah lagi?”
“Menurutmu?”
Alan menyengir, memutuskan untuk memeluk istrinya. “Love you. Hari ini aku bakalan antar-jemput kamu.”
Adiba membalas pelukan Alan. “Antar aja kayak biasanya. Kejauhan kalau kamu pulang-pergi jemput aku.”
“Nggak pa-pa, sesekali,” timpalnya sambil mengacak rambut sepinggang Adiba.
*
Adiba sadar bahwa kemarahannya semalam terlalu berlebihan. Ingin hati meminta maaf lebih dahulu, tetapi khawatir Alan menganggap perkataannya sekadar isapan jempol belaka.
Seharusnya dia paham bahwa tidak ada usia yang terlalu muda untuk membina hubungan rumah tangga. Selama kedua pihak pengantin sudah sama-sama dewasa dan legal menurut aturan hukum formal ataupun moril untuk menikah, maka tidak seharusnya dipersoalkan.
Atas dasar kesadaran tersebut, dia tidak bisa terus mendiamkan Alan ketika sang suami sudah berulang kali meminta maaf. Bagaimanapun, perlu kepandaian mengontrol emosi dalam membina rumah tangga.
“Aku juga minta maaf,” ujarnya saat mereka melangkah ke luar kamar untuk membantu di dapur. “Semalam ngomong yang kelewatan.”
Satu hal yang dia sukai dari suaminya, lelaki ini tidak keberatan mengerjakan urusan dapur. Notabenenya hal itu masih dianggap sebagai tugas wanita bagi kebanyakan lelaki di negara ini. Walaupun bukan sebuah rutinitas, tetapi Alan tetap menunjukkan perannya dengan baik.
Alan hanya menoleh padanya, lalu mengukir sebuah senyuman.
Bu Nesa telah berkutat di dapur ketika mereka baru tiba. “Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya Adiba bergegas mendekati sang mertua.
“Ini sudah mau selesai. Kalian siapkan piring saja,” sahut Bu Nesa pendek, “oh, minta tolong bangunkan Aulia, Nak.”
Adiba menjauh, mengambil beberapa buah piring dan perlengkapan makan lainnya untuk kemudian ditata di atas meja.
“Kamu bangunin Aul aja. Kalau aku yang bangunin, nanti malah debat lagi.”
Adiba tidak banyak protes terhadap permintaan sang suami. Terkadang Aulia memang akan tidur kembali setelah salat Subuh jika malam sebelumnya lelah begadang karena mengerjakan tugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...