4.1 Lamaran

214 34 18
                                    

Adiba memandangi layar ponsel. Mendadak sekali, pikirnya. Dia mendongak. "Maaf, Ibu dan yang lain bisa tunggu sebentar? Adiba diajak bertemu sama teman-teman sekelas."

Perkataan tersebut mengundang pandangan dari seluruh pasang mata. Pak Wendra mengurungkan niat menyalakan mesin mobil.

Adiba sebenarnya sungkan, tapi tidak tega menolak permintaan teman-temannya. Kata mereka, sebagai ajang perpisahan sebab akan susah bertemu setelah ini.

"Abel ikut?" sahut Alvarendra tenang. "Kalian sekelas, 'kan?"

"Paling cuma mau foto-foto. Bikin pegal."

"Ya udah, jangan lama-lama, ya?" putus Bu Adelia.

Adiba langsung turun dari mobil. Dia hanya membawa ponsel tanpa melepaskan atribut wisuda. Jalannya agak tergesa. Syukurlah dia memakai flat shoes.

Tujuannya adalah koridor gedung O1, gedung bersama fakultas MIPA. Lokasi paling dekat dengan auditorium utama kampus.

Setelah menerobos keramaian, di antara lalu-lalang orang, sekitar tujuh menit kemudian, Adiba baru sampai di lokasi. Banyak temannya yang berkumpul di sana. Walau tak lengkap, tapi masuk kategori dalam jumlah besar untuk sebuah kunjungan seremonial.

"Diba, cepat-cepat!" Milda yang berinisiatif menarik tangannya. Dia langsung diminta berbaris. Demi gambar-gambar yang kelak disebut kenangan.

"Gantian, oi! Cowok-cowok juga pada mau foto ini!"

Beginilah yang terjadi bila sesi foto melibatkannya. Gadis itu hanya mau berfoto dengan sesama perempuan. Jika ada foto bersama campuran, dia yang bertugas memegang kamera. Takut terjebak ikhtilat meski dalam bingkai kamera. Terus terang, sebenarnya hal demikian susah untuk dilakoni.

Kelas A Pendidikan Fisika 2016 pada dasarnya rutin traveling bersama selepas UAS. Di momen lain, kadang juga mereka mengajak dosen berfoto di pekan terakhir pertemuan. Intinya, mereka sangat solid. Tak ayal, di awal-awal mereka saling kenal, prinsip tersebut menuai protes.

Kini, atas seluruh penjelasan dan keteguhan Adiba, teman-temannya perlahan memaklumi. Berhenti memaksa. Apalagi, kepribadian Adiba susah untuk dibenci, terlalu baik.

"Fotoin dong!"

Rombongan para gadis pecah. Adiba mengambil jarak aman. Dia mengamati teman-temannya.

Ada lima orang yang berhasil wisuda di bulan ini. Tiga perempuan, dua laki-laki. Jumlah mahasiswi memang lebih banyak. Terbilang sedikit dari jumlah peserta sidang semester tujuh. Wajar, yang lain belum kebagian kuota. Berebut dengan jurusan lain dan para senior. Siapa cepat, dia dapat.

Senyum Adiba terkulum menyaksikan kehebohan kawan-kawannya. Selepas sesi foto grup laki-laki, sesi campuran pun dimulai. Seperti biasa, Adiba sigap mengambil alih kamera.

Adiba sebenarnya selalu ragu memainkan peran tersebut. Khawatir terkategori mendiamkan sesuatu yang dianggapnya keliru. Pasalnya, dia menolak foto bersama karena memegang hukum adanya ikhtilat. Memang sebagian berpendapat boleh saja selama dipisahkan, bukan random selang-seling. Misal, formasi depan-belakang. Namun, lagi-lagi dia sungkan.

Embusan napas pelan mengalir melewati bibirnya. Mungkin prinsipnya tak seteguh yang dikira. Buktinya, Adiba masih melibatkan sedikit perasaan dalam perkara syariat agama. Adiba membisikkan sebait zikir permohonan ampunan dalam hati.

"Udah, Diba?" Seseorang bertanya bingung. Adiba tampak bergeming.

Gadis itu mengerjap. Dia menggeleng pelan. "Aku hitung, ya!"

"Bentar, bentar, biar aku aja yang fotoin!" Alan tiba-tiba keluar dari barisan. Melangkah mendekati Adiba. "Kamu istirahat aja. Kayaknya nggak fokus. Capek, ya?" imbuhnya, disambut sorakan dari para pendengar.

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang