4.2 Lamaran

162 34 17
                                    

Hari yang dijanjikan tiba. Alan sudah menantikan momen ini. Duduk di hadapan Alvarendra demi mengutarakan niatnya.

"Satu minggu? Lebih cepat dari yang saya duga."

Alan tersenyum kalem. "Niat baik perlu disegerakan, Pak."

Selepas acara wisuda waktu itu, Alan tak menyia-nyiakan waktu. Dia langsung mencari tahu ke pelbagai sumber. Banyak cara yang dapat ditempuh. Alan memilih googling dan wawancara kepada kenalan yang sudah berkeluarga.

Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?

Dia mengolah data, menganalisis, mengambil kesimpulan. Memang cenderung berlebihan. Demi menemukan jawabannya, tak apa. Walau pertanyaan tersebut terkesan remeh, tapi menyimpan konsekuensi besar. Jadi, harus dicari dengan sungguh-sungguh.

Setelah yakin atas hasil risetnya, dia langsung menghubungi Alvarendra. Respon yang diterima cukup bersahabat. Lelaki itu mengirimkan sebuah alamat, yang baru diketahui sebagai tempat tinggal Alvarendra dan Abelyn.

"Kamu ada niat lanjut studi, Lan?"

"Belum, Pak. Mau fokus mengembangkan usaha sama bantu-bantu di toko."

"Ini cuma misalnya. Jika kalian menikah dan Adiba mau lanjut studi, bagaimana?"

"Boleh saja asalkan tugas utama sebagai istri nggak terbengkalai dan saya punya penghasilan lebih untuk merealisasikan itu."

"Nggak khawatir kalah saing?"

"Suami-istri adalah partner dalam rumah tangga. Justru bagus bila istri berpendidikan tinggi. Terutama untuk urusan mendidik anak. Orang tua, khususnya ibu, harus tanggap dalam mengasuh anak sesuai zamannya."

Alvarendra manggut-manggut. Dia meraih cangkir di atas meja dan menyesap isinya secara perlahan. Pandangannya tak lepas dari Alan.

"Bagaimana keluargamu? Apa mereka bisa terima bila istrimu punya pendidikan lebih tinggi?"

"Kami yang menjalani pernikahan, Pak."

Alvarendra tersenyum miring. Dia mengembalikan cangkir ke tempat  semula. "Pendapat orang lain nggak penting?"

Alan berdehem. Gaya berbicara Alvarendra membuatnya sedikit kikuk. Rasanya, aura intimidasi perlahan terbentuk di ruangan ini.

"Maksud saya, perspektif setiap orang berbeda. Kita nggak mungkin memaksa mereka sepakat terhadap suatu pendapat tertentu. Cara terbaik yang bisa dilakukan, bila memang perlu, adalah memahamkan pelan-pelan. Melalui tindakan ataupun perkataan. Jika tertolak, ya sudah. Manusia menjalani hidup masing-masing."

"Setelah menikah, kamu berencana untuk tinggal di mana?"

"Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, Pak. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Ayah sudah meninggal sejak lama. Jadi, saya berpikir untuk menetap di rumah guna menjaga adik dan ibu juga."

Alvarendra mengusap dagu pelan. Pandangannya penuh perhitungan. "Kamu pernah dengar kasus-kasus buruk yang terjadi antara menantu perempuan dan ibu mertua?"

Kedua tangan Alan saling menggenggam. Pemuda itu terdiam cukup lama. Dia paham maksud tersirat dari pertanyaan Alvarendra.

Memang benar, ada banyak sekali kasus kerusuhan rumah tangga yang melibatkan menantu dan mertua. Tidak sedikit pasangan yang akhirnya memutuskan berpisah karena ketidakcocokan keluarga besar. Alan pernah membacanya di beberapa forum diskusi internet.

Sebagian besar pasangan mengaku kurang nyaman tinggal bersama mertua. Alan tahu itu. Masalahnya, dia merasa agak berat meninggalkan rumah. Adik dan ibu mengikat kakinya erat-erat. Dua perempuan berharga di hidupnya itu butuh dilindungi.

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang