7. Pengakuan

61 20 10
                                    

Walimah telah benar-benar berakhir sekitar pukul empat sore. Para tamu undangan tidak lagi terlihat di sudut mana pun. Kecuali beberapa kerabat dan teman karib yang memilih bertahan hingga menjelang waktu Magrib untuk membantu merapikan tempat bekas acara.

Setelah itu, suasana nyaris kembali seperti semula. Alan dan Adiba memutuskan untuk melewati hari pertama usai ijab kabul di kediaman Pak Wendra dengan meminjam salah satu kamar di sana.

Kini, di rumah berlantai dua itu tersisa pasangan Abelyn dan Alvarendra, orang tua Abelyn, ibu Adiba, dan sepasang pengantin baru. Sementara seluruh laki-laki bergegas ke masjid begitu azan berkumandang, para wanita memutuskan untuk salat di ruangan mereka masing-masing.

Adiba baru saja menyelesaikan tilawah Alquran ketika pintu kamar diketuk, lalu disusul suara salam.

"Wa'alaikumussalam," sahut wanita itu sambil berjalan ke arah pintu.

Tidak butuh waktu lama kayu kecokelatan berbentuk persegi panjang di hadapannya terbuka. Alan berdiri di baliknya dengan seulas senyum yang khas.

Tanpa banyak kata, Adiba menyalami lelaki yang baru resmi menjadi suaminya ini. Kemudian membiarkannya masuk setelah mengingatkan lebih dahulu untuk menutup pintu.

Adiba menurut saja ketika Alan menautkan jari-jemari mereka. Pasangan pengantin itu memilih duduk di sisi kasur.

Tak ada kata yang terucap, Alan hanya terus-terusan memandangi wajah ayu di hadapannya sembari mengusap-usap punggung tangan Adiba.

"Apa sih?" bisik Adiba agak malu, jantungnya bertalu-talu cukup kencang. Rasanya benar-benar canggung, padahal mereka bukanlah dua orang yang baru saling mengenal.

Menjadi teman satu kelas semasa kuliah selama empat tahun tentu tidak dapat dikatakan singkat. Hampir setiap hari bertemu. Walau memang tidak akrab, tetapi interaksi mereka lumayan intens.

"Boleh aku lepas mukenahnya?" tanya Alan sambil menatap lurus-lurus.

Adiba sedikit berdeham demi menguraikan kegugupan yang kian melanda. Boleh dibilang, sepanjang hari ini baru sekarang mereka punya kesempatan berduaan. Pasalnya, sedari pagi selalu saja ada orang ketiga yang membersamai.

Wanita itu mengangguk kecil pertanda menyetujui permintaan Alan. Lagi pula, status mereka sekarang adalah suami istri, jadi wajar bukan untuk melakukan hal-hal semacam ini?

Alan tampak menarik napas. Kalau boleh jujur, sesungguhnya bukan hanya Adiba yang merasa malu.

Dia meneguk ludah, lalu kian mempersempit jarak. Disentuhnya ubun-ubun sang istri penuh hikmat, diikuti sebaris doa yang meluncur dari lisannya.

Dada Alan berdebar tak keruan seiring mukenah sang istri yang semakin tersingkap.

Tak lama kemudian, rambut berwarna hitam legam sepanjang punggung menyapa indra penglihatannya. "Masyaallah," gumamnya refleks.

Alan dan semua orang juga tahu bahwa Adiba adalah wanita yang cantik. Itu fakta dan tidak dapat dielakkan.

Namun, Alan tidak menyangka kalau ternyata tanpa tertutup khimar, aura wanita ini amat sangat memikat.

Rambut Adiba mungkin tak semenawan bintang iklan sampo, tetapi untuk ukuran pengguna hijab sejak usia baligh, tampilannya sulit membuat siapa pun berpaling.

"Jangan lihat gitu," tukas Adiba sambil mengangkat tangannya ke arah mata Alan, menghalangi pandangan sang suami.

Aneh sekali mendapati seorang laki-laki menatapnya sedemikian intens dan bebas. Tindakannya kali ini tidak bermaksud apa-apa, sekadar bentuk rasa malu yang memuncak.

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang