"Pembukaan yang bagus," gumam Abelyn.
Adiba menoleh. "Gimana, Bel?"
Sepeninggal Alvarendra, mereka memutuskan untuk belajar memasak. Kemampuan Abelyn mengolah bahan makanan tak perlu diragukan. Adiba ingin berguru padanya.
"Chat-mu di grup semalam. Kamu udah ngasih warning ke teman-teman soal pernikahan kami, sekaligus membuka peluang kalau-kalau si Alan benaran mau ngelamar kamu."
"Nggak ada hubungannya sama Alan," kata Adiba kalem. "Gimana rasanya sejauh ini?"
Abelyn mengulurkan tomat ke arah Adiba. "Tolong cuci dulu. Tentang apa?"
Adiba bergerak sedikit, mendekati wastafel. Dia memutar keran, hingga air mengucur deras. "Nikah dan hamil."
"Tumben nanya-nanya. Tomatnya sekalian diiris-iris."
Adiba mengambil pisau yang terselip di antara tumpukan piring. Gadis itu mengikuti setiap instruksi Abelyn. "Aku cuma mikir, kalian berbeda setelah menikah. Khususnya kamu, Bel."
Abelyn melirik sekilas. "Nikah, gih, kalau penasaran."
"Masa nikah cuma gara-gara penasaran?"
Abelyn meringis dalam hati. Teringat masa lalunya. Dia pernah berada pada titik yang mana pernikahan dijalankan atas dorongan rasa penasaran, ingin riset. "Oh, iya, kamu kan, punya idealisme."
Adiba hanya tersenyum simpul. Lalu hening. Mereka melanjutkan aktivitas masing-masing.
Adiba sudah biasa dikatakan sebagai golongan orang-orang berprinsip oleh teman-temannya. Wajar. Sejak kecil dia telah dibesarkan dengan nilai-nilai agama dan moral yang kental.
Besar di bawah naungan ibu tunggal, ditemani seorang kakak yang perfeksionis, walau tanpa peran ayah, Adiba bisa tumbuh menjadi gadis yang jelita, baik dari segi fisik maupun kepribadian. Dia punya pedoman dan rancangan yang jelas untuk menjalani hidup.
Pendidikan, karir, bahkan pernikahan telah masuk dalam proposal masa depannya. Meski dalam prosesnya karap kali ditimpa masalah, dia takkan berpaling. Terkejut dan kelabakan mungkin pernah, tapi dengan cepat dia mampu menyesuaikan diri. Bisa dibilang, hidup Adiba itu sangat lurus.
Adiba jarang membuat pelanggaran. Dia tidak pernah memancing amarah guru, menyeleweng dari aturan sekolah, membentak ibunya, memulai pertengkaran dengan teman, menyontek saat ujian, dan sebagainya. Adiba tipikal manusia yang lebih suka menghindari masalah. Jika telanjur kejadian, dia akan berusaha untuk menyelesaikannya sesegera mungkin.
Tak heran, oleh teman-teman pada umumnya, sering dikatakan hidup Adiba monoton. Isinya hanya hitam-putih. Tak berwarna. Namun, Adiba lebih suka menyebut ini sebagai keidealan. Bukan perkara mudah mempertahankan prinsip di tengah dunia yang begitu carut-marut. Dia punya pegangan di antara banyaknya hiburan dan godaan yang melenakan.
Atas segala kebaikan yang dia dapatkan hingga detik ini, Adiba benar-benar bersyukur kepada Allah. Satu-satunya cara yang bisa dia persembahkan untuk Tuhan yang Maha Baik, adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, termasuk berbuat baik terhadap sesama. Dalam hal sekecil apa pun, dia senantiasa berusaha mematuhi aturan yang berlaku, selagi tak menentang agama.
"Omong-omong, kamu udah lulus. Pulkam atau gimana?"
Adiba tersentak. Lamunannya terputus. Dia melirik Abelyn. Benar, pikirnya. Sahabatnya itu berubah lebih ekspresif dan banyak bicara. Adiba turut bahagia karenanya. "Mau nyoba honor ke sekolah-sekolah formal, sembari tetap ngajar di bimbel."
"Nikah?"
"Estimasi waktunya dua atau tiga tahun ke depan. Tapi ya, seandainya Allah datangkan lebih cepat laki-laki saleh dan punya visi yang sejalan, mau-mau aja, sih." Adiba tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...