Dua bulan berlalu dalam pernikahan Alan dan Adiba. Tidak banyak yang berubah kecuali deretan penyesuaian diri.
Adiba tetap dengan kesibukannya, pun demikian Alan. Di sisi lain, kehadiran Anna masih menjadi duri dalam hati Adiba.
Dia masih ingat terakhir kali ketika Alan mengantar Anna pulang di malam hari. Kala itu, Adiba menahan diri untuk tidak melakukan konfrontasi. Pasalnya, ada campur tangan mertuanya dalam kejadian tersebut.
Setelahnya, intensitas kehadiran Anna ke rumah mereka masih sama. Sesekali dia akan muncul mendadak karena berbagai alasan, mengobrol dengan keluarga barunya, lalu menunjukkan bahasa tubuh ketertarikan pada Alan.
Sayangnya, Adiba bingung bagaimana harus merespons hal tersebut. Di satu sisi dia mulai merasa gerah, sedangkan di sisi lain Alan terlihat biasa saja.
Singkatnya, hanya Anna yang terus-terus mencari perhatian, sementara Alan bertingkah seolah semua bukan apa-apa.
Kemudian, suaminya itu juga berkata bahwa tidak penting apa yang wanita lain lakukan sebab bagi Alan, Adiba adalah satu-satunya.
***
Alan baru selesai melayani konsumen ketika ponselnya berdering nyaring. Buru-buru dia meraih benda pipih yang terletak di atas meja tinggi itu.
"Ya, wa'alaikumussalam. Ada apa, Mbak?" tukasnya tanpa basa-basi.
"Maaf, saya teman kerjanya Mbak Anna. Sampean keluarganya? Mbak Anna barusan pingsan."
"Ya? Sekarang kondisinya gimana?" tanya Alan agak panik.
"Sudah sadar, tapi masih lemas. Sampean bisa jemput? Agak mengkhawatirkan kalau dibiarkan pulang sendiri."
Alan tidak sempat mengulik lebih jauh. Bukan waktunya untuk bersikap kritis saat mendengar informasi semacam ini.
"Baik, di kantor Mbak Anna, kan?
Alan langsung memutuskan sambungan telepon setelah menginformasi keberadaan Anna. Dia lalu menarik helm di atas rak di dekat jajaran komputer.
"Mau ke mana?" tanya Rein, rekan bisnisnya.
"Ada kenalan yang sakit. Aku tinggal bentar. Oh, iya, sekalian pinjam helm!" sahutnya terburu sambil berlalu pergi meninggalkan area percetakan.
***
Adiba sedang asyik berbincang dengan salah satu adik binaannya. Hari ini mereka janjian untuk membeli buku di Islamic Book Fair yang digelar di Aula Skodam Brawijaya.
Adiba sengaja mengajak adik binaannya ke sini, sekaligus untuk mencari udara segar di Taman Tugu.
Tentunya dia sendiri punya target untuk membeli buku-buku impiannya di stan Al Azhar Press, penyedia literatur ideologis yang bisa menambah tsaqofah Islamnya.
"Aku merekomendasikan ini sebagai referensi mentoring." Adiba menyerahkan sebuah buku berjudul Menjadi Pembela Islam karya M.R. Kurnia.
"Boleh deh. Mbak sendiri mau beli apa?"
Adiba menjauh sebentar, bergerak ke arah buku-buku bersampul dominan putih. Hanya ada tulisan berwarna merah yang menjadi pembeda di antara kumpulan literatur tersebut.
"Kitab baru," tuturnya sambil menyengir.
"Sampulnya nggak menarik, ya," celetuk si adik binaan.
Adiba tersenyum simpul. "Isinya menarik, kok," imbuhnya, "masih ada yang mau dibeli?"
"Ini dulu deh, Mbak. Takutnya nggak kebaca semua. Nanti-nanti aja beli yang lain."
Adiba mengangguk paham. Mereka pun bergegas ke kasir sambil menunggu antrean kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...