11.2 Orang Kedua

63 22 28
                                    

Adiba harus bicara. Tidak mungkin untuk melewatkan kejadian sore tadi di saat secara nyata dirinya melihat sang suami membonceng sebarang perempuan. Bukan untuk mendebat atau mencari masalah baru, melainkan sekadar bentuk meminta tabayun.

Adiba tidak ingin larut dalam rasa penasaran dan pikiran berlebihan. Semua ini harus segera dituntaskan. Oleh karenanya, dia langsung mengajak Alan bicara begitu selesai makan malam.

Sengaja memilih waktu tersebut sebab mereka biasanya sudah tak punya kegiatan lain kecuali bersiap untuk istirahat. Harapannya pembicaraan ini berlangsung tenang dan singkat.

Di sinilah mereka, berdua duduk di atas kasur sambil berhadapan. Sayangnya, sudah hampir lima menit berlalu, tetapi dirinya masih bergeming. Agak bingung bagaimana harus memulai pembicaraan ini.

"Ada apa, hm?" Alan pada akhirnya inisiatif bertanya.

Adiba menarik napas pelan. "Sore tadi kan aku di Aula Skodam buat beli buku sekalian mengisi mentoring. Nah, aku kayaknya sempat lihat kamu lewat di sekitaran sana ... bareng perempuan," ucapnya dengan suara mengecil di ujung kalimat.

"Ah, iya, aku tadi emang jemput orang dari rumah sakit." Alan sedikit memalingkan wajahnya ke arah lain.

Adiba mengernyitkan dahi samar. Seingatnya Aulia dan ibu mertuanya baik-baik saja. Kalaupun mereka sakit, dirinya pasti turut serta dikabari. "Siapa?"

Alan tampak terdiam sejenak dan terkesan enggan menjawab.

"Kak?" desak Adiba. "Siapa?" ulangnya sekali lagi.

"Mbak Aulia."

Tatkala nama itu disebut, Adiba tidak bisa menahan rasa cemburunya. "Kenapa?"

"Apanya?"

Adiba menatap tepat ke mata sang suami. "Kenapa kamu yang harus jemput dia? Ke mana keluarganya? Kamu tahu kan kalau kalian bukan mahram? Kita sama-sama sepakat bahwa berboncengan bareng lawan jenis non mahram termasuk bentuk pelanggaran syariat. Kenapa kamu tetap melakukan itu?"

"Tenang dulu, Dib. Ngomongnya pelan-pelan aja," sahut Alan kalem.

"Tenang gimana? Emang kamu bisa tenang kalau ngelihat aku boncengan sama laki-laki lain?"

Alan mengernyitkan dahi. "Kok jadi gitu sih?"

"Ya, makanya, jawab! Kenapa kamu yang jemput dia?"

Alan menarik napas. Terdiam sejenak, berpikir. Kenapa dirinya yang menjemput Anna? Tentu saja, karena gadis itu meneleponnya secara langsung.

Dia tidak sempat berpikir apa-apa lagi dan hanya ingin segera menemui Anna karena diburu rasa khawatir. Masalahnya, bagaimana dirinya harus menjelaskan kondisi ini kepada sang istri?

"Andrew lagi di kampus, entah ngapain. Ayahnya di kantor dan ibunya nggak bisa menyetir," sahut Alan pada akhirnya, terdengar sedikit ragu.

"Kenapa harus kamu?" desak Adiba. Jawaban sang suami tidak mengentaskan rasa khawatirnya. "Kalau dia emang nggak masalah berboncengan dengan lawan jenis, seharusnya bisa pakai ojek atau taksi online."

Alan kembali hening. Tak menemukan balasan yang tepat.

"Kak?"

Alan menatap gamang. "Aku salah. Aku minta maaf, oke?"

Adiba menggeleng tegas. "Bukan itu jawaban yang aku mau. Kita nggak bahas siapa yang benar atau salah. Ini tentang keputusan kamu untuk jemput dia, kenapa?"

Hening.

Alan hanya diam, sementara Adiba merasa gelisah di tempat duduknya. Satu kemungkinan seketika melintas di benak wanita itu.

"Kamu ... masih suka dia?"

"Adiba!" sentak Alan.

"Terus kenapa, Kak?"

"Aku nggak akan melakukan hal yang sama lagi. Kita lupakan aja pembahasan ini."

"Kamu menghindar!"

"Dib, kamu kenapa sih? Nggak biasanya kamu rewel kayak gini!"

"Rewel?" Adiba tersenyum tipis. "Aku sedang menanyakan apa yang dilakukan suamiku, dan kamu berpikir aku rewel?"

Lelaki itu menggeleng. "Lebih baik kita tidur. Kamu pasti capek," ungkapnya sambil berusaha membalikkan badan.

"Alan!"

Alan berhenti, kembali menoleh kepada sang istri. "Coba ulangi?"

"Kamu bilang nggak akan ada masalah meskipun dia menyukaimu, tapi kenyataannya malah gini, 'kan?"

Alan menghembuskan napas keras sembari berusaha menahan kesal. "Itu cuma kesalahan kecil, nggak perlu dibahas sampai segitunya. Aku salah dan nggak akan mengulanginya lagi."

Adiba mengangkat alisnya seolah menunjukkan rasa tidak percaya. "Kesalahan kecil, kamu bilang?" tukasnya rendah. "Dua kali dan kamu menganggap ini biasa aja?"

"Apa sih, Dib," sahut Alan sambil membuang muka.

"Ah, sekarang aku paham. Mungkin kita terlalu muda untuk membina keluarga."

"Maksud kamu?"

Adiba menunduk, bahunya lemas. "Memang nggak seharusnya aku marah. Jodoh itu cerminan diri, kan? Selama ini, kupikir aku udah cukup ketat dalam menjaga pergaulan, tetapi tampaknya nggak gitu. Aku diam melihat ikhtilat, kadang masih suka memikirkan lelaki non mahram, dan kesalahan lain yang kuanggap ringan. Sekarang, aku ketemu kamu, yang berpikir bahwa berboncengan dengan lawan jenis adalah hal sepele. Kita sama aja, sama-sama masih senang meringankan pelanggaran."

Alan tampak mencerna ucapan Adiba. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bingung harus bereaksi bagaimana.

Pembahasan ini terlalu melebar dan sepertinya sang istri sedang emosional. Apa yang harus dia lakukan?

"Sudahlah," tukas Adiba setelah merasa cukup lama terdiam. "Aku harap kita bisa lebih peduli terhadap aturan ke depannya, sekecil apa pun itu."

Pernyataan itu sekaligus menjadi akhir perbincangan mereka. Adiba langsung memilih kembali berbaring dan membelakangi Alan. Malam ini rasanya enggan untuk melihat wajah sang suami.

Entahlah, dia sedang kacau. Belum lepas rasa tidak nyamannya akibat interaksi antara Anna dan Alan, kini kembali disadarkan oleh kenyataan. Bahwa dirinya, ternyata tidak jauh berbeda, terkadang masih meringankan maksiat. Bahkan, mungkin lebih parah karena merasa telah begitu taat.

Dadanya sesak, susah payah dia menahan air mata. Antara kesal pada suami yang tidak tersalurkan, juga malu kepada Tuhannya. Adiba merasa sangat buruk, sungguh.

Di belakangnya, Alan juga tak bisa tidur. Terus terang dia tertohok mendengar perkataan Adiba.

Benar bahwa jodoh adalah cerminan diri. Adiba lantas menyematkan istilah tersebut ke dalam kasus yang buruk; sebagai sesama pelanggar aturan. Separah itukah kesalahannya?

Bagi Alan, Adiba adalah wanita yang salehah. Apakah sesungguhnya ucapan istrinya tadi semacam sindiran? Bahwa dia, tidak layak dijadikan pemimpin?

Bagaimanapun, jika melihat dari masa pembinaan keislaman mereka masing-masing, Adiba jelas jauh lebih dulu memulainya. Dia memiliki keluarga aktivis dakwah, serta dibimbing dengan Islam sedari kecil

Sementara dirinya, baru memulai perubahan selepas SMA. Dia punya catatan sejarah hidup yang buruk, tidak rapi seperti halnya Adiba.

Namun, bukankah setiap orang punya kesempatan kedua selagi maut belum menjemput?

Lagi pula, dengan ijab kabul yang telah tertunaikan, itu artinya mereka bersedia menerima keadaan masing-masing, bukan?

Apakah memang betul bahwa mereka masih terlalu muda seperti kata Adiba? Usia mungkin membuat mereka gampang tersulut emosi dan tidak bisa sepenuhnya mengikhlaskan masa lalu pasangan.

Alan memijat puncak hidungnya. "Adiba," panggilnya pelan, tetapi tidak menerima respons.

Malam itu, setelah beberapa kali memanggil Adiba namun diabaikan, Alan pun memutuskan untuk menutup mata dan berharap hari esok situasinya jadi lebih baik.

-TBC-

14 Maret 2022.

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang