“Aku nggak bisa.” Alan menolak tegas saat Andrew tiba-tiba datang ke rumahnya dan memintanya menjenguk Anna.
Menurut pengakuan Andrew, gadis itu sakit sudah dua hari ini. Sebenarnya bukan hal aneh jika seseorang sesekali mengalami kesakitan, tetapi masalahnya Anna terus menggumamkan namanya.
“Dia butuh kamu.”
Alan menggeleng tegas. Urusan mereka sudah selesai. Dua hari yang lalu dia telah menegaskan statusnya meski hanya lewat pesan instan. “Aku kira kamu bakalan diam aja kayak biasanya,” sindirnya kepada Andrew.
“Kakakku sakit.”
Alan menarik napas agak dalam. “Bro, aku bukan dokter. Anggaplah hari ini aku mau ketemu Mbak Anna, terus apa?”
Andrew bergeming.
Obrolan mereka tidak menghasilkan perubahan sama sekali. Dia tegas menolak, sementara sahabatnya ini masih bersikukuh. Sudah hampir 10 menit berlalu, tetapi Andrew tidak kunjung menyerah, demikian pula dengan dirinya.
“Kamu udah nggak ada rasa sama Mbak Anna?”
“Enggak,” timpal Alan yakin. “Nggak ada lagi yang tersisa. Mengurus Mbak Anna bukan kewajibanku. Kalaupun aku harus jenguk, jelas bakalan minta istriku sebagai sesama perempuan.” Dia sengaja menekankan statusnya sekarang agar orang lain berhenti mengaitkannya dengan wanita bukan mahram mana pun kecuali Adiba.
Andrew menatap sekilas lalu bangkit berdiri. “Oke. Maaf karena sempat memaksa.”
Alan mengulas senyum. Dia pun paham bahwa tingkah Andrew pagi itu sebagai bentuk kekhawatiran kepada sang kakak. “Santai, Bro. Aku harap Mbak Anna cepat sembuh.”
Andrew pergi, Alan ikut bangkit dan kembali ke kamarnya. Hari ini tanggal merah karena libur nasional, tetapi hanya ada dirinya dan Adiba di rumah. Ibu dan Aulia sedang menjaga toko kue.
Alan kembali ke dapur, berjalan melewati pintu pembatas yang terhubung dengan halaman belakang. Di sana ada Adiba yang sedang menjemur pakaian. Tanpa banyak kata, dia membantu sang istri menyelesaikan sisa kain yang masih terendam di dalam baskom.
“Siapa?” tanya Adiba kalem.
“Andrew. Mbak Anna sakit, aku diminta buat jenguk.”
Gerakan Adiba tampak berhenti, demikian pula dirinya. Alan sontak menoleh ke kanan, menunggu respons istrinya itu. “Kamu mau jenguk?”
“Hak muslim atas muslim lainnya salah satunya dijenguk ketika sakit, apalagi kita juga bertetangga. Kamu bisa ke sana, ‘kan?”
Adiba sepertinya butuh waktu untuk berpikir. Pasalnya, wanita itu tidak berkata apa-apa lagi dan hanya melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
“Gimana?” tanya Alan setelah pakaian terakhir berhasil digantungkan pada jemuran.
*
Anna terpukul setelah membaca pesan Alan terakhir kali. Bahkan ketika dia menelepon, lelaki itu mengabaikannya. Apa memang sudah tidak ada lagi kesempatan baginya?
Dia jadi tidak nafsu makan dan lebih sering menghabiskan waktu untuk melamun. Tak pelak kondisi fisiknya memburuk. Keluarganya sudah berusaha mengajak ke rumah sakit, tetapi segera ditolak dengan tegas. Dia hanya butuh Alan agar kembali padanya.
“Kak, udah dong. Alan bahagia bareng istrinya. Jangan kayak perempuan yang nggak laku gini deh.”
Anna nyaris mendelik andai denyut di kepalanya tidak semakin kuat. Andrew belum lama kembali dari kediaman Alan tanpa membawa hasil apa-apa.
“Aku punya banyak teman yang lebih oke dari Alan. Mau aku kenalin?”
Anna enggan menjawab dan memilih memutar badan, membelakangi Andrew yang duduk pada kursi plastik di dekat pinggiran ranjang. Dia hanya mau Alan, bukan pria lain atau siapa pun.
Sejak mereka putus, dia selalu menjaga hati dan menolak laki-laki lain yang datang medekat. Pikiran Anna terkunci pada momen-momen ketika mereka masih bersama. Dia gagal move on atau tepatnya sengaja tidak ingin lupa.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. “Nak, ada tamu.” Itu panggilan dari Ibu. Anna buru-buru berbalik. Apakah Alan berubah pikiran?
Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Alih-alih Alan, yang muncul di sana justru Adiba. “Assalamualaikum,” sapa wanita itu terdengar lembut.
Apa yang ingin Adiba lakukan dengan datang ke sini? Apakah dia hendak melabraknya?
Terdengar dehaman dari sisi kiri ranjang. Andrew tampak buru-buru bangkit. “Aku keluar dulu, ya, Mbak.”
Andrew langsung keluar, Adiba mendekat. “Mbak ngapain ke sini?” tukasnya to the point.
Anna sadar betul bahwa selama ini Adiba seperti menjaga jarak dengannya. Mengingat dia juga terkadang suka mendekati Alan secara terang-terangan, situasi semacam itu tentu bukan hal aneh.
“Jenguk tetangga yang sakit,” sahut Adiba seolah terdengar memberi penekanan pada hubungan mereka. “Kami sekeluarga berharap Mbak Anna segera sehat.”
Anna diam saja. Sedang memikirkan kalimat apa yang harus dia sampaikan kepada wanita ini. Mengakui bahwa dia akan lebih senang jika Alan yang datang menjenguk?
“Aku udah tahu masa lalu kalian dan paham situasinya,” gumam Adiba membuatnya sontak melebarkan telinga. “Oh, iya, tadi aku nitipin makanan ke Tante.”
“Kamu senang karena aku ditolak?”
Adiba tampak menahan senyum, serta-merta memicu kernyitan kecil muncul di dahi Anna. “Mbak pasti udah tahu jawabannya.” Anna mengatupkan mulut rapat. Sadar bahwa pertanyaannya barusan sangat konyol. “Suamiku bertetangga dengan mantannya. Keluarganya juga seperti ngedukung kalian. Aku kayak orang asing yang tiba-tiba muncul dan ngusik hubungan kalian. Bisa paham gimana perasaanku?”
Anna mengalihkan pandangan. Tidak dapat membalas perkataan tersebut. Sadar bahwa Adiba sama sekali tidak ada hubungannya dengan berakhirnya kisah percintaan mereka. Wanita ini baru muncul setelah beberapa tahun mereka berpisah.
Sejak awal semua perselisihan dengan Alan dimulai olehnya. Kisah mereka berakhir karena dia telah lalai menjaganya.
“Aku berusaha tetap tenang karena percaya sama Alan. Tapi, sebagai sesama perempuan, aku yakin kamu paham gimana perasaanku setiap kali kamu bertamu ke rumah kami.” Adiba menarik napas panjang. “Aku benaran berharap kamu dapat penggantinya, memulai kisah baru, dan nggak mencoba mendekati Alan lagi.”
Anna masih diam. Bola matanya berputar menatap langit-langit kamar. Bahkan hingga Adiba pamit keluar, dia tetap bergeming. Pelan, air mata jatuh mengalir di pipinya. “Maaf,” gumamnya lirih. Untuk kelalaian yang pernah dia lakukan kepada Alan, juga ketidaknyamanan yang dirasakan Adiba.
Melihat sikap tenang dan kelembutam Adiba membuatnya menyadari satu hal. Bahwa wanita itu, adalah sosok yang paling tepat untuk membersamai Alan.
Pantas jika Alan begitu mengagumi Adiba.
-TBC-
Taqaballahu minna wa minkum. Udah lewat banyak sejak hari Idul Fitri, sih, ehehe. Semingguan ini aku keliling mulu, nggak sempat mikirin nulis.
Oh ya, ini bakalan tamat sebentar lagi.
9 Mei 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampa | ✔
Espiritual[Chapter lengkap] Spin-off Parak. "Apa kesamaan visi mampu menjamin kebahagiaan?" Seharusnya, iya. Ibarat kompas, visi akan menjadi penunjuk arah. Apa pun masalahnya, semua dapat terselesaikan dengan berpedoman pada visi. Akan tetapi, bagaimana bila...