13. Tentang Waktu

61 20 8
                                    

“Mbak Adiba sibuk banget, ya, jam segini belum pulang.”

Alan menoleh saat mendengar ucapan Aulia. Adiknya itu membalas tatapannya sambil terus mengunyah mi instan. Mereka kebetulan sama-sama sedang ingin menyantap mi usai salat Magrib.

Sebenarnya Aulia yang lebih dulu memasak mi ketika dia baru pulang dari masjid. Ingin hati sekadar mengambil minuman di dapur, tetapi niatnya jadi meluas setelah mendapati sang adik sibuk memecahkan telur ke dalam panci.

“Jenguk adik binaannya di rumah sakit. Dia pulang sebentar lagi kok. Ini aku mau jemput, cuma nunggu ditelepon aja.” Alan menyahut santai.

Tidak dapat dimungkiri, Adiba memang sering menghabiskan waktu di luar. Alan memaklumi kesibukan sang istri dan dia tidak keberatan terhadap hal itu. Lagi pula, Adiba selalu mengabarinya ke mana pun akan pergi serta atas dasar apa.

Seperti sore tadi, misalnya, wanita itu tiba-tiba menelepon untuk menyampaikan bahwa salah satu adik binaannya kecelakaan. Dia ingin turut serta menjenguk.

“Ini kan bukan pertama kalinya,” gumam Aulia.

“Gimana?”

“Kalau urusan orang sakit, ya mau gimana lagi. Tapi, ini bukan pertama kalinya dia pulang sampai kemalaman, ‘kan? Bimbel, kajian, ngisi acara, hm, apa lagi? Halakah?”

Aulia menunduk, mengaduk mi instan. “Bukan apa-apa, sih, Mas, Mbak Anna aja yang jelas-jelas kerja kantoran nggak sampai segitunya.”

Alan mengernyit tak nyaman mendengar perbandingan yang dilakukan oleh adiknya. “Nggak masalah, aku ngizinin dia beraktivitas sesukanya selama nggak melanggar syariat.”

Terdengar dengkus amat pelan. “Melanggar syariat?” tukas Aulia, “aku emang nggak gitu paham agama, tapi setauku tugas istri itu lebih banyak di rumah. Nah, kenyataannya? Mbak Adiba bahkan lebih sering keluar dibandingkan Mas Alan.”

Alan menyeruput mi dari mangkuk. Tidak tahu harus merespons seperti apa. Bagaimanapun, dia rida dengan segala aktivitas Adiba.

“Jadinya, ya, gitu deh, kerjaan rumah lebih sering dikerjakan Ibu atau aku. Nggak pernah bantuin jaga toko.” Aulia menarik napas. “Mas, aku ngomong gini karena peduli. Coba pikirin lagi, Mbak Adiba kayak cuma fokus ke kamu nggak, sih? Jarang ngobrol bareng aku atau Ibu, malah Mbak Anna yang main ke sini mulu.”

Alan berdiri, mengambil air minum di dispenser. “Wajar, aku suaminya.”

“Masalahnya, kalian nggak cuma tinggal berdua,” sahut Aulia terdengar sebal.

Dia bungkam, tidak punya bantahan. Perkataan Aulia memang ada benarnya. Bahkan, terkadang Adiba pulang dalam keadaan lelah dan tidak punya waktu untuk merespons candaan Alan dengan aktif.

Selama ini dia merasa tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Alan tahu bahwa Adiba memang sudah sibuk sejak masih berstatus mahasiswa. Akan tetapi, perkataan Aulia malam ini cukup memengaruhinya. Apa sebaiknya dia membicarakan hal itu dengan Adiba?

“Bukan cuma aku yang ngomong gitu kok, Ibu juga.” Aulia menambahkan. “Ya, mungkin Mas mau ngingetin Mbak Adiba buat ngurangin aktivitasnya di luar.”

Alan tidak berkata-kata lagi, dia segera menghabiskan makanannya. Setelah itu, mencuci piring bekas pakainya, lalu kembali ke kamar. Barangkali Adiba sudah menghubungi untuk minta dijemput.

-TBC-

Chapter-chapter selanjutnya mungkin akan dibuat sependek ini.

21 April 2022

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang