6. Walimah

59 24 6
                                    

Bangku-bangku tersebar di halaman rumah orang tua Abelyn. Perjamuan hari itu didesain dengan konsep outdoor.

Bagi yang sering bepergian ke kafe-kafe kekinian di sekitaran kota, barangkali sudah tidak asing lagi dengan lanskap di pernikahan Alan dan Adiba.

Makanan disajikan di meja terpisah secara prasmanan. Setiap tamu yang hendak mencicipi hidangan bebas mengambil sendiri, lalu mencari posisi favorit mereka.

Sebenarnya bukan sesuatu yang aneh bila mengingat usia kedua mempelai. Baru memasuki tahun ke-22 bertahan hidup di dunia, tentu jiwa mereka masih sangat muda. Tidak jauh berbeda dengan tamu-tamu yang hadir. Itulah mengapa keseluruhan suasana walimah terkesan fresh dan penuh semangat.

Tampak Alan berjalan ke sana-kemari menyapa para tamu. Sesekali dia akan berbincang, lantas tertawa. Dari yang tua hingga muda, Alan senantiasa menyapa dengan ramah.

Sementara di dalam rumah, pada sebuah ruangan yang terletak di lantai dua, Adiba terlihat sedang bersama beberapa perempuan seusianya.

Matahari belum beranjak persis di atas kepala, tamu diluar masih didominasi oleh laki-laki. Meski demikian, kerabat wanita dari kedua pihak mempelai sebagian sengaja datang tanpa kenal waktu untuk turut membantu.

Adiba sedang didandani oleh salah seorang kawan sekelasnya dulu yang memang jago soal make up. Bisa dibilang, pengeluaran untuk pernikahannya hanya sedikit.

Arnita, salah satu orang yang merasa sering menerima bantuan tugas-tugas semasa kuliah, menawarkan diri untuk mendandani Adiba secara sukarela.

Awalnya dia ingin membayar jasa tersebut, tetapi temannya itu menolak. Bagi Arnita, inilah momen yang paling tepat untuk balas budi.

Adiba terus terang cukup terharu. Dahulu ketika menemani proses belajar teman-temannya, dia sama sekali tidak mengharapkan imbalan. Dalam pandangan Adiba, Allah yang akan membalasnya, entah di dunia ataupun di akhirat.

"Nit, apa nggak ditebalin dikit make up Adiba? Biar orang-orang pada pangling?"

"Aku sih juga pengen gitu, Mil, tapi anaknya nggak mau ih."

Milda mendecak sambil berucap, "Dikit aja, lho, Dib."

"Nggak usah."

Milda menoleh dengan cepat. Di atas ranjang ada Abelyn yang sedang duduk sambil mengamati mereka.

"Kok kamu yang nyahut?" ujar Milda agak sinis.

Ada beberapa alasan kenapa Milda kurang menyukai Abelyn. Wanita itu mendapat perhatian dari semua orang yang dia senangi. Dari Revan dan Alvarendra si dosen idola hingga Adiba.

"Makasih ya, Mil. Aku tahu maksudmu, kok. Tapi, aku lebih nyaman dengan gaya kayak gini." Adiba buru-buru menengahi.

Meskipun Milda dan Abelyn berada di ruangan yang sama, tetapi sesungguhnya mereka tidak begitu akrab. Bahkan, bisa dibilang punya hubungan kurang baik.

Sewaktu kuliah dulu, mereka pernah bertengkar ketika sedang menunggu dosen masuk kelas di pagi hari.

"Iya deh," ucap Milda terkesan pasrah. Dia hanya ingin melihat kawannya itu dengan penampilan luar biasa. Pasti kecantikannya akan semakin menguar.

"Jadi, kesimpulannya tetap kayak rencana awal, nih?" Arnita merasa perlu turut mencairkan suasana.

"Tolong lanjutkan, Nit," pinta Adiba.

***

Alan berakhir di meja tempat berkumpul teman-teman sekelasnya. Sebelumnya dia berkeliling untuk menyapa keluarga dan kawan satu harakah dakwah.

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang