3. Nasihat

249 43 57
                                    

"Bagaimana urusanmu, Nak?"

Adiba memiringkan badan, mencari posisi ternyaman. Dia tengah merebah di kasur sambil menerima telepon dari ibunya.

"Alhamdulillah lancar, Bu. Adiba bisa wisuda awal bulan Februari. Kapan Ibu ke sini?"

"Insya Allah mendekati resepsi pernikahan kakakmu."

Adiba tersenyum cerah. Kakaknya berencana melangsungkan resepsi awal tahun depan. Artinya, sang ibu akan lama tinggal di Malang. Itu merupakan suatu kebahagian bagi anak rantau sepertinya.

Melanjutkan pendidikan di kota orang, apalagi terpisah jutaan mil, bahkan berbeda pulau, memberikan sensasi tersendiri. Dia dituntut untuk mandiri. Segala hal diserahkan padanya.

Sebenarnya, Pulau Jawa tidak terasa asing baginya. Bukan karena telah menghabiskan nyaris empat tahun di sini, tapi dia memang memiliki darah suku Jawa dari jalur bapaknya.

Beliau orang Semarang. Bertemu sang ibu semasa kuliah. Sebagai syarat yang diajukan ibunya, mereka menetap di salah satu desa terpencil di Sulawesi Tenggara setelah menikah.

Desa itulah yang Adiba sebut kampung halaman. Sebab, dia lahir dan berkembang di sana.

"Syukurlah, pulangnya sekalian setelah Adiba wisuda?"

"Insya Allah begitu. Kamu turut membantu persiapan pestanya, 'kan? Ibu sebenarnya nggak enak sama orang tua Abel, tapi, mau bagaimana lagi. Masih ada amanah dakwah yang belum selesai. Sepupu-sepupumu juga kasihan kalau ditinggal lebih cepat."

Adiba mengangguk-angguk. Ibu memang tinggal bersama dua sepupunya. Kebetulan orang tua mereka merantau di luar negeri, bekerja sebagai TKI. Usia mereka berbeda lima dan enam tahun dengannya.

"Bagaimana kabar mereka, Bu?"

"Alhamdulillah baik. Mereka masih suka berdebat. Ibu kadang dibikin pusing."

Adiba tertawa kecil. "Anggap saja hiburan, Bu. Oh, iya, bagaimana kondisi di situ, aman?"

"Kampung kita? Ya, nggak banyak yang berubah. Ah, sekarang lagi heboh masalah perceraian."

"Kenapa bisa sampai heboh, Bu?" tanya Adiba bingung.

Pasalnya, perceraian bukan hal asing di kampungnya. Pernah ada insiden seorang istri menikam suami. Tidak sampai meninggal, tapi orang tua kedua belah pihak memaksakan perceraian. Mereka masih remaja, emosi sangat labil. Menikah sebab lalai menjaga pergaulan. Miris, tapi nyata.

Adiba tiba-tiba merinding saat teringat kasus beberapa tahun silam itu.

"Soalnya yang bercerai Pak Dokter dan istrinya."

"Inalillahi," pekik Adiba pelan. "Kak Yumna, Bu?"

"Iya, Nak. Kondisi Yumna kurang baik sekarang. Ibu baru menengoknya sore ini. Setelah wisuda, jika memungkinkan, Ibu harap kau pulanglah dulu. Jenguk kakakmu."

Adiba bergeming. Tak tahu harus merespon seperti apa. Ingin bertanya lebih jauh, tapi khawatir mengulik aib orang tanpa sadar.

Dia hanya tak menyangka akan mendengar berita serupa. Terlalu tiba-tiba dan mengejutkan.

Yumna adalah sepupu dua kalinya. Begitulah sebutan bagi anak-anak yang orang tuanya bersepupu. Ibunya dan mamak Yumna memiliki hubungan kekeluargaan.

Gadis itu menggigit bibir. "Insya Allah. Jika memang memungkinkan, Adiba ikut pulkam bareng Ibu."

"Ibu harap mereka masih bisa rujuk lagi. Begitulah, Nak, pernikahan banyak lika-likunya. Perjalanan rumah tangga nggak tertebak. Ada yang awalnya kelihatan harmonis, kenal bertahun-tahun, ujung-ujungnya pisah. Tapi, ada juga yang dijodohkan dan setia sampai akhir. Masalahnya macam-macam, ekonomi, perselingkuhan, bahkan hal sepele."

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang