14. Permintaan

61 19 6
                                    

Adiba mengiyakan saja ajakan Alan untuk jalan-jalan di Taman Slamet satu hari sebelumnya. Memberi tahu agar dirinya mau mengosongkan jadwal dan pergi berkencan.

Adiba belum bisa menebak apa yang direncanakan lelaki itu, tetapi penting baginya untuk mengikuti permintaan sang suami. Alan berdalih bahwa sate di tempat ini sangat lezat dan ingin agar Adiba juga mencobanya. Tentu dia tahu ucapan tersebut sekadar alasan saja.

Lagi pula, seingatnya sejak menikah mereka berdua memang belum pernah pergi secara khusus dalam rangka kencan. Selain Alan yang tidak mengajak lebih dahulu, mereka juga sama-sama sibuk.

Adiba duduk di salah satu bangku taman berbahan beton. Melihat-lihat pengunjung lain yang tampak sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Ada yang berlari mengelilingi taman demi melintasi jalanan beraspal, asyik berfoto ria di antara pepohonan, dan masih banyak lagi.

Ini pertama kali Adiba datang ke Taman Slamet sehingga rasanya cukup menyenangkan. Sementara di sisi lain, Alan sedang pergi membeli sate ayam – makanan yang katanya harus Adiba cicipi.

Suasana di sini cenderung lebih sejuk dibanding udara Kota Malang pada umumnya. Ada beberapa tanah yang ditutupi paving block di sejumlah titik. Jika diperhatikan, tempat-tempat itu bagus dijadikan lokasi diskusi atau piknik.

“Maaf lama, tadi ngantre.” Alan tiba-tiba muncul saat dia sedang sibuk dengan lamunan. Adiba segera mendongak, lalu tersenyum seraya menerima satu porsi sate pemberian Alan.

Dia mengambil satu tusuk dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya lezat seperti yang dikatakan Alan. Bumbu kacang dan aroma bawang merah mendominasi sehingga membuatnya mencomot satu tusuk lagi dalam waktu singkat. “Makasih, ya. Tahu dari mana kalau di sini ada sate ayam seenak ini?”

Alan yang sudah duduk di sisinya sontak mengukir senyum. “Rein. Dia tinggal di sekitaran sini.”

Adiba hanya manggut-manggut, fokus melahap setiap tusuk sate. Level pedasnya sangat pas di lidah. Dia jadi kesulitan berhenti setelah mencoba sekali.

“Mau lagi?” Alan mengangkat bungkus sate miliknya yang belum tersentuh.

Adiba menyengir. “Masih ada kok.”

Alan menatapnya agak lama, mengulurkan tangan tiba-tiba untuk mengelap sudut bibirnya. “Pelan aja, Dib. Nanti kita beli lagi sebelum pulang kalau masih ada,” ujar lelaki itu santai. Dia terlihat meletakkan bungkus sate di atas bangku kosong di sisi kiri untuk kemudian membuka tutup botol air minum kemasan.

“Kamu nggak makan?” Adiba menerima botol minuman tersebut dengan senang hati.

“Aku udah kenyang lihat kamu makan.”

“Jadi, maksudmu aku bikin eneg?”

Terdengar tawa ringan dari sisi kirinya. “Kok malah diterjemahin gitu.”

Adiba ikut tertawa. Tanpa banyak bicara lagi dia menghabiskan sisa tusuk sate. Kemudian, berdiri untuk membuang bekas bungkus sate ke bak sampah yang terletak tidak jauh dari mereka.

“Dib,” panggil Alan sekitar satu menit setelah dia kembali dari membuang sampah. “Agenda apa yang kamu geser gara-gara kencan sore ini?”

“Kajian bareng Abel,” sahut Adiba kalem.

“Abelyn halakah juga?”

Dia mengangguk. “Iya, alhamdulillah, belum lama ini.” Adiba menolehkan kepala, memandang wajah Alan dari samping sebelum tatapannya turut serta dibalas. “Ada yang mau kamu bicarain?” terkanya. Sengaja bertanya lebih dahulu karena Alan terlihat sungkan.

“Menurutmu, jadwal kegiatanmu terlalu padat nggak?”

Adiba diam sejenak, mencerna ke mana arah pembicaraan mereka selanjutnya. “Kamu keberatan?” tukasnya hati-hati. Meskipun pernah mengaku akan membebaskannya beraktivitas di luar, tetapi bisa saja Alan berubah pikiran.

“Nggak,” sahut Alan cepat, “tapi, aku bakalan senang kalau mau dikurangi. Kamu hampir selalu kelihatan capek pas udah nyampe rumah.”

Adiba menelan ludah agak payah. Tidak bisa membantah perkataan tersebut. “Aku nggak bisa ninggalin dakwah,” gumamnya pelan.

“Ya, itu emang kewajiban.” Alan meraih tangan kirinya, mengelus lama. “Uang bulanan yang aku kasih kurang nggak?”

“Huh?” ujarnya sedikit bingung karena menerima pertanyaan tentang keuangan secara tiba-tiba. “Cukup kok.”

“Alhamdulillah. Keberatan nggak kalau aku minta kamu berhenti kerja?”

“Kamu pengin aku berhenti kerja?”

“Hanya kalau kamu nggak keberatan.” Alan mengukir senyum simpul.

Adiba berpikir agak lama. Sebenarnya dia menyukai pekerjaannya sebagai staf pengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar.

Namun, jika Alan tidak rida terhadap aktivitasnya, maka semua itu menjadi tidak berarti. Bagaimanapun, bekerja bagi perempuan hukumnya mubah, sedangkan menaati suami dalam perkara yang tidak melanggar syariat adalah kewajiban. “Oke, aku bakal berhenti.”

“Benaran nggak pa-pa?” Alan tampak memicingkan mata menatapnya.

Dia mengangguk mantap. “Taat sama kamu itu kewajibanku, sedangkan bekerja pilihanku.”

Alan mendadak mendekat ke arahnya, berbisik, “Kalau nggak di tempat umum, udah aku peluk deh.”

Adiba refleks menyikut pinggang lelaki di sisinya. “Dasar!” Mereka lantas tergelak kecil berbarengan.

Dia tidak merasa keberatan meninggalkan pekerjaannya sekarang. Melihat usaha Alan untuk tetap memberikan kebebasan padanya cukup melegakan hati. Padahal, lelaki ini bisa saja menyuruhnya sewaktu di rumah tanpa harus berdalih ingin kencan terlebih dahulu. Tindakan tersebut setidaknya menunjukkan betapa sang suami menghargai pendapatnya.

-TBC-

Bisa-biasanya siang pas puasa gini aku kepikiran sate ayam. Pengen, tapi di tempat tinggalku nggak ada yang jual 😭

23 April 2022

Hampa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang