32. Teror

58 1 0
                                    

Leo menggeser beberapa foto yang ia lihat, potret kebersamaannya dengan Aga. Ia hanya tersenyum simpul melihat berbagai macam ekspresi yang di buat oleh kekasihnya itu. Jam dinding menunjukkan pukul 23.57 dan sebentar lagi pergantian hari. Ia menutup sambungan seluler yang dari tadi terhubung. Aga sudah tertidur, katanya ia sulit tidur karena terus saja mengingat kecupan Leo di bibirnya tadi sore. Namun setelah 30 menit ia menelfon Leo, sudah terdengar jelas dengkuran halus. Dasar bayi.

Leo menatap langit-langit kamarnya, ia tersenyum malu saat mengingat kecerobohan nya tadi. Bisa-bisanya Leo mencium Aga. Apalagi di sekolah, untung saja tidak ada yang melihat kecuali sahabat-sahabat Leo.

"Kenapa gue nggak bisa tidur sih? Kenapa Aga lari-lari mulu di pikiran gue? Nggak capek apa!" Gerutu nya.

"Tapi?" Leo merubah posisinya menjadi duduk. Alisnya menyatu menandakan ia sedang berpikir.

"Apa cewek itu dengan gampangnya lepasin Aga? Kok aneh." Gadis itu menyandarkan tubuhnya di punggung kasur. Getaran di telepon nya mengalihkan atensi. Siapa malam-malam seperti ini menelfon, apa Aga terbangun?

"Siapa nih?" Leo mencoba mengenali nomor tanpa nama yang menghubunginya itu. Tapi dia tidak tau siapa pemiliknya.

"Gak jelas banget telfon orang tengah malem."

Tapi nomor tidak dikenal itu terus saja menghubungi. Leo menggerutu kesal sambil menggeser tombol hijau itu ke atas.

"Hallo? Siapa?"

"Hay Leo."

Leo membeku beberapa detik, ia mengenali suara itu. Hembusan nafas Leo terdengar kasar. Ia hanya diam tak membalas apapun.

"Le? Leo?"

"Ada apa lagi Raka?"

"Coba kamu buka jendela kamar."

Leo mengerutkan keningnya. Tapi kaki nya melangkah ke arah yang Raka perintahkan. Membuka sedikit gorden berwarna biru dongker itu. Mata tajam Leo mengintip keluar ruangan.

"Ada apa?" Tanya Leo saat tidak menemukan hal yang aneh.

"Buka lebih lebar, sebelah selatan. Kamu lihat?"

Mata Leo menelisik lebih tajam. Dan benar terdapat seseorang disana. Memakai hoodie hitam dan topi. Wajahnya tidak terlihat karena memakai masker. Tapi dari postur tubuhnya Leo mengenali bahwa orang itu adalah Raka..

"Ngapain lo disana?"

"Emang nya kamu mau aku berdiri tepat di depan jendela kamar? Kalau kamu mau dengan senang hati aku kesana." Raka melangkah pelan ke arah pekarangan rumah Leo sambil tersenyum di balik masker yang ia pakai.

"Stop! Lebih baik jangan mendekat. Takut orang lihat. Nanti lo di kira maling."

Raka berhenti. Tidak kembali ketempat semula namun tidak juga melangkah mendekat. Sekarang Leo bisa melihat mata indah Raka di bawah penerangan lampu di taman depan rumah nya. Leo tau ada senyum di balik wajah Raka.

"Udah telfonan nya sama Aga?"

"Udah." Leo tercekat, Raka tau itu. Tapi ia tidak mau berekspresi, ia tidak mau Raka melihat bahwa sebenarnya Leo merasa terintimidasi. Seolah Leo sudah memaklumi bahwa Raka bisa tau apa saja yang ia lakukan.

"Kunci pintu nya, kamu masih saja ceroboh."

"Hah?" Leo terlihat bingung. Sementara Raka hanya menggeleng kecil.

"Pintu depan belum kamu kunci, gimana nanti kalau aku nekat masuk?"

Leo hanya terdiam, kaki nya perlahan keluar dari kamarnya. Menuju pintu depan dan memutar kenop nya. Benar, tidak terkunci. Rupanya ia tadi lupa mengunci pintu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang