28. Misi pembebasan

50 6 0
                                    

Laki-laki itu memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah yang begitu luas. Langkah kakinya terlihat santai dengan jaket kulit andalan membuat pesona nya semakin menawan. Ia memainkan kuncinya dengan melemparkan nya ke udara. Tapi tangkapan nya tidak pernah meleset, kunci itu selalu kembali ke tangan nya lagi.

"Hem.. seperti biasa, gak ada orang."

Mata nya menelisik setiap sudut rumah mewah itu, tidak ada satu manusia pun menyambutnya. Benar-benar sangkar emas, mewah tapi seperti di penjara.

"Ke kamar aja deh." Dengan cepat sosok itu menaiki anak tangga, tidak takut akan terpeleset atau terjatuh saat itu juga. Sampai di kamar pun ia langsung menghempaskan diri ke kasur, melepas lelah nya hari ini. Ia melantunkan nada-nada yang terlintas begitu saja di pikiran nya.

"Dudi dudi dam dam dudi dudi dam, dudi dudi dam dam dudi dudi dam..."

"Kamu makannya apa? TEMPE!"

"Saya juru masaknya, oke!"

"Ada tempe goreng, ada ayam goreng, semua yang di goreng, oseng oseng oseng."

"Lauknya pilih saja-"

"ALDO!"

Sontak laki-laki itu beranjak dari kasurnya. Terlihat dengan jelas ia pasti terkejut dengan suara bariton yang memanggilnya itu. Ia hanya bisa tersenyum kaku pada pria setengah baya yang notabene adalah paman nya itu.

"Om Doni ngagetin aja."

"Kan emang sengaja." Tukas pria yang sudah menginjak usia kepala 5 itu.

"Nicho mana om?"

"Loh bukannya tadi keluar mau ketemu kamu? Dasar anak itu berani nya bohong, jangan-jangan lagi mabuk-mabukan lagi."

"Em..oh iya Aldo lupa om, iya emang ada janji ketemu di cafe malem ini. Ini mah Aldo nya aja yang lupa, Nicho nggak bohong kok." Ujar Aldo mencoba menutupi kesalahan saudara itu, jika tidak bisa dimarahi habis-habisan Nicho. Hem..coba kurang baik apa Aldo sebagai saudara, boleh kah ia mendapatkan nobel perdamaian karena telah meredakan kekacauan yang akan terjadi antara ayah dan anak? Patut dipertimbangkan.

"Kalau gitu aku nyusul Nicho dulu ya om."

Doni mengangguk. "Hati-hati Al."

Tapi seseorang yang mereka bicarakan muncul dengan santainya dibalik pintu. Nicho menatap bingung kearah dua orang yang sedang berada di kamarnya itu.

"Ngapain papa sama Aldo disini?"

"Papa nggak ngapa-ngapain, tadi Aldo cari kamu."

"Bukannya kita ada janji di cafe ya Nic?" Ujar Aldo sembari sedikit melotot ke arah Nicho. Kebiasaan Nicho selalu menjadikan Aldo sebagai kambing hitam, malang sekali nasib nya.

"Oh gue kira lo nggak dateng, jadi gue pulang."

"Oh iya ya salah gue, gue nya yang lupa. Ma-af-ya!" Ujar Aldo penuh penekanan.

"Ya sudah kalian main di rumah aja, kalau mau sesuatu kan bisa minta tolong pak Hendro. Lagian udah malem." Doni menepuk bahu Aldo dan melenggang pergi meninggalkan mereka berdua di kamar.

Nicho berjalan pelan dan duduk santai di sofa, memainkan benda pipih nya sambil sesekali tersenyum kecil. Tidak menyadari wajah Aldo yang masam, Nicho bahkan tidak merasa bersalah setelah mengkambing hitamkan dirinya.

"Dari mana sih lo?"

"Hah?" Nicho menaikan salah satu alisnya, bukannya tidak dengar apa yang ditanyakan Aldo, tapi rasanya ada yang kurang jika tidak menjahili sepupunya itu.

GERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang