HN 01

868 183 15
                                    

Beberapa menit yang lalu dia masih membaca nama yang tertera pada design kartu yang ada di laptopnya.

Mahesta Putra Winata & Gabriella Andaristia.

Ini adalah design kartu undangan pernikahannya yang gagal.

Bulan depan tanggal seharusnya.

Hesta bahkan sudah menyiapkan semuanya dan itu sudah tujuh puluh persen akan selesai. Tapi kenyataannya pernikahannya itu gagal. Tentu saja hal itu karena keluarganya. Walaupun Gaby yang memutuskan untuk mengakhiri segalanya sebulan yang lalu, tapi Hesta merasa tidak bodoh dan berpikir semua ini ulah keluarganya.

Dan Hesta memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya karena dia tentu saja sudah tidak mungkin menikahi Gaby yang sangat dicintainya jadi dia merasa lebih baik dia melajang saja. Lagipula tidak akan ada perempuan yang berhasil menembus benteng keluarganya.

Tapi dia kini menatap heran pada perempuan yang memiliki pandangan mata berbinar ini yang tiba-tiba muncul mengajaknya menikah.

"Jadi gimana? Kamu mau nikah kan sama aku? Ya walaupun aku kelihatannya menyusahkan tapi aku janji aku nggak bakal nyusahin kamu asal kamu bisa bantu aku buat liburan ke Bali akhir bulan depan," jelasnya lagi.

"Nanti aku mau liburan ke lain tempat lagi juga karena kalau kamu jadi suamiku kamu bisa jadi kartu izinku sama kedua orangtuaku," jelasnya lagi membuat Hesta masih heran dengan perempuan ini.

"Dan asal kamu tau ya, cita-citaku dari kecil itu keliling dunia cuma ya karena orang tuaku yang strict parents parah buat aku jadi ketahan banget dan cuma boleh main disekitaran Kota Bandung, nggak asik kan?" tanyanya seolah Hesta bisa mengertinya.

Sejujurnya Mahesta pun masih mencerna penjelasan perempuan yang bisa Hesta simpulkan kalau ia gila. Ya tidak mungkin kalau dia tidak gila karena bisa-bisanya dia mengajak Hesta menikah padahal hubungan mereka hanya stranger neighbour. Hesta bahkan baru pertama kali bertemu dengannya hari ini.

"Ya daripada kamu melajang nggak ada gunanya ya mending nikah sama aku kan? Kamu bisa ngatur aku ini itu asal kamu bisa jadi kartu izin liburan aku. Ya mungkin kamu sempet mikir kamu mending dijodohin aja sama orangtua kamu tapi bayangin aja kamu belum tentu dapat istri yang bisa diajak negosiasi kaya aku. Dan lagipula aku cukup cantik, cukup pintar dan cukup kaya jadi nggak bakal buat kamu malu," jelas perempuan itu lagi membuat Hesta menyeringai.

Bisa-bisanya ada perempuan sepercaya diri ini di hadapannya.

"Oke, tapi saya nggak yakin kamu bisa hadapin keluarga saya," kata Hesta mencoba membuat nyali perempuan itu ciut.

Perempuan itu terkekeh. "Keluargaku itu keluarga yang paling menyebalkan yang pernah ditemui kalau kata teman-temanku. Jadi kurasa aku bisa hadapin keluarga kamu dengan mudah dengan pengalaman aku menghadapi keluargaku."

"Oke kalau gitu, kalau kamu bisa hadapin keluarga saya. Saya mau jadi suami kamu."

"Beneran?" tanya perempuan itu antusias.

Hesta menganggukkan kepala dengan eskpresi datarnya.

"Yes akhirnya!" ucapnya girang.

Perempuan itu lalu berdiri dan mendekati Hesta dengan tatapan mata yang masih berbinar itu.

"Jadi kapan kita ketemu orang tua kamu?"

Hesta langsung berpikir.

"Akhir minggu ini," sahut Hesta.

"Oke! Lebih cepat lebih baik," sahut perempuan gila ini.

"Eh iya nama kamu siapa?"

"Hesta."

Hei, Nata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang