HN 21

629 114 20
                                    

"Jadi Gaby benar-benar ada di Bali?"

Grand mengangguk menjawab pertanyaan Hesta. "Dan seperti dugaan anda sebelumnya. Gaby ada disini dengan salah satu Winata."

Hesta tersenyum menyeringai. "Jadi dugaan sementara kita itu benar adanya?"

Grand mengangguk. "Benar. Tapi kita sebaiknya jangan dulu berasumsi apapun sebelum mendapat bukti yang jelas."

Kini giliran Hesta yang mengangguk. Dia terdiam dan terlihat termenung. Apa yang dipikirkan Hesta saat ini sedikitnya diketahui Grand.

"Kali ini saya akan bertanya sebagai teman ataupun seseorang yang kamu anggap kakak."

Kata-kata Grand berhasil menarik perhatian Hesta dan membuat Hesta kini melirik pada Grand.

"Jadi bagaimana perasaanmu jika semua hal buruknya terbukti benar? Bagaimanapun juga Gaby pernah menjadi perempuan penting dalam hidup kamu, jadi kamu-"

Hesta mendesah napasnya keras memotong kata-kata Grand. "Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir. Saya sudah bisa merelakan Gaby sepertinya..."

"Benarkah?" tanya Grand tidak percaya.

Ponsel Hesta berdering tepat setelah Grand bertanya. Hesta terlihat menatap layar ponselnya lalu tersenyum begitu mengetahui siapan yang menelpon.

"Kamu cerewet banget Nata. Iya, nanti saya pakai cream untuk kaki saya lagi. Kalau memang kamu tidak percaya ya kamu pulang saja kesini dan pakaikan saya cream sendiri ke kaki sa-"

Hesta lalu menjauhkan ponselnya dan menatapnya. "Belum beres ngomong padahal sudah ditutup," gerutu Hesta yang walaupun kesal tetap ada senyum yang terpatri di wajahnya.

"Tadi kamu nanya apa Grand?"

Grand hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala karena memang hanya dengan melihat respon Hesta pada telpon Nata tadi membuat dia sudah menemukan jawabannya sendiri.

***

"Apaan nih?"

Nata bertanya sambil menahan senyum sendiri saat Hesta membawanya ke sebuah Restaurant dekat pantai. Meja yang mereka tempati tampak dihias dengan bunga mawar yang menurut Nata terlalu berlebihan jika memang tidak ada permintaan khusus.

"Apanya yang apaan? Katanya tadi kamu lapar?"

"Ya lapar cuma... This is too much?" Tanya Nata yang kemudian baru menyadari di mejanya ada sebuket mawar merah.

"Yaudah makan aja nggak usah mikirin yang lain, toh ini paket honey moon kita," kata Hesta sinis sambil membuka buku menu yang tersedia di meja mereka.

Nata tersenyum sambil memandangi bunga dalam buket yang digenggamnya. "Ini dari kamu atau termasuk paket juga?"

Hesta yang sibuk memilih menu menanggapi pertanyaan Nata tanpa mendongak. "Maunya gimana?"

Nata diam sambil memandangi suaminya yang kini memakai hoodie abu-abu dan celana jeans yang terlihat santai itu.

"Maunya dari kamu Ta... Tapi ya nggak mungkin sih."

"Ya memang bukan dari saya."

Nata memutar bola matanya kesal. Seharusnya dia tidak berekpektasi apapun.

"Kalau saya yang ngasih sih bunga bank."

Nata langsung terkekeh karena merasa Hesta menghiburnya. "Tumben lucu."

"Biar disayang istri," sahut Hesta yang masih sibuk dengan buku menu sementara Nata menahan salah tingkah karena jawaban Hesta.

Nata merasa Hesta sedikit berubah. Apa Hesta mau Nata dan Hesta merasakan pernikahan yang sesungguhnya?

Hei, Nata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang